Selasa, 25 November 2008

MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH

MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar
Istilah Khilafah dan Imamah sebetulnya sinonim, yang berarti sistem pemerintahan Islam. Namun oleh segelintir orang, kedua istilah itu dianggap berbeda pengertiannya. Ulil Abshar Abdalla, bekas Koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya, memandang ada perbedaan antara Khilafah dan Imamah, begitu juga istilah turunannya seperti imam dan khalifah. Ulil menyatakan, “Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum.” Dalil-dalil agama tentang wajibnya mengangkat imam, menurut Ulil, hanya menegaskan saja hukum sosial yang sudah berlaku berabad-abad. Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Dan pemimpin itu, kata Ulil, “Bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan lain-lainnya.” (www.harianbangsa.com).

Walhasil bagi Ulil, Imamah itu berarti kepemimpinan yang bersifat umum. Sedangkan, Khilafah, adalah kepemimpinan yang lebih khusus, yang kata Ulil, berdasarkan sejarah Islam bentuknya adalah kerajaan. Khilafah seperti ini, menurut Ulil, hanyalah suatu kebetulan sejarah (historical coincidence). Karena itu, sistem itu dapat diganti sesuai asas rasionalitas, yang bagi Ulil adalah aplikasi doktrin Ahlus Sunnah bahwa penentuan imam bukanlah berdasarkan teks agama (seperti pendapat golongan Syiah), melainkan berdasarkan ijtihad dan pilihan (ikhtiyar). Ujung-ujungnya, Ulil ingin menegaskan bahwa sistem republik (bukan kerajaan) saat ini yang berdasarkan demokrasi, adalah sudah final dan merupakan sistem paling ideal hingga saat ini. (www.harianbangsa.com)

Pengertian Khilafah dan Imamah

Pendapat Ulil yang membedakan istilah "imamah" dan "khilafah" di atas memang harus diakui. Tapi bukan diakui sebagai pernyataan ilmiah, melainkan sebagai dagelan yang cukup menggelikan. Betapa tidak, karena kalau pendapat Ulil itu dibandingkan dengan pendapat para ulama fikih siyasah dan ulama bahasa Arab, akan terbukti Ulil hanyalah orang awam (untuk tidak menyebutnya "bodoh"). Dan kita harus maklum, orang awam itu kadang bicaranya ngawur dan aneh. Dalam konteks seperti inilah, tepat sekali pernyataan Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani,”Idza takallama al-mar`u fi ghairi fannihi ataa bi hadzihi al-‘aja’ib.” (Jika seseorang berbicara di luar bidang keahliannya, dia akan mengucapkan kalimat yang ajaib). (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, Juz 3/683).

Coba, kita lihat pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :

الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين

“Khilafah atau Imamah ‘Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin.” (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270).

Mari kita lihat juga pendapat serupa dari Imam Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah hal. 190 :

وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة

وإمامة والقائم به خليفة وإمام

“Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini [khalifah] dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik Syariah [Rasulullah SAW] dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. [Kedudukan ini] dinamakan Khilafah dan Imamah, dan orang yang melaksanakannya [dinamakan] khalifah dan imam.” (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 34).

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 8 hal. 418 menyatakan pendapat serupa :

الخلافة (أو الإمامة أو إمارة المؤمنين) أو أي نظام شوري يجمع بين مصالح الدنيا والآخرة كلها ذات مدلول واحد

“Khilafah (atau Imamah atau Imaratul Mukminin) atau yang berarti sistem berdasarkan musyawarah yang menghimpun kemaslahatan dunia dan akhirat, semuanya mempunyai pengertian yang sama.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/418).

Dhiya’uddin Ar-Rays dalam kitabnya An-Nazhariyat As-Siyasiyah Al-Islamiyah hal. 92 mengatakan :

يلاحظ أن الخلافة والإمامة الكبرى وإمارة المؤمنين ألفاظ مترادفة بمعنى واحد

“Patut diperhatikan, bahwa Khilafah, Imamah Kubra, dan Imaratul Mukminin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/465).

Semua kutipan ulama di atas menyatakan bahwa istilah Imamah dan Khilafah (juga Imaratul Mukminin) maknanya sama, tidak berbeda. Persis seperti halnya kalau kita menyebut nama kitab suci kita. Boleh ia disebut Al-Qur`an, Al-Kitab, Al-Furqan, atau At-Tanzil. Walau berbeda-beda namanya, tapi hakikat pengertiannya tetap satu dan sama.

Kutipan-kutipan yang menunjukkan kesamaan makna Khilafah dan Imamah itu masih banyak sekali. Silakan cek pendapat yang sama dari Rasyid Ridha dalam kitabnya Al-Khilafah Aw Al-Imamah Al-‘Uzhma hal. 101, Prof. Dr. Ali As-Salus dalam kitabnya ‘Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah (terj.) hal. 16, Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Membentuk Negara Islam hal. 30, dan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Islam dan Politik Bernegara hal. 42-43.

Silakan cek juga pendapat para ulama bahasa Arab (ahli kamus) yang menyamakan arti Imamah dan Khilafah, misalnya Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha` hal. 64, 150, dan 151; juga Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu’jam Al-Wasith Juz 1 hal. 27 dan 251.

Jika Imamah dan Khilafah pengertiannya sama, demikian juga istilah imam dan khalifah. Keduanya sama-sama berarti pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, tidak berbeda. Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun yang telah dikutip di atas. Imam Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin Juz 10 hal. 49 menegaskan hal yang sama :

يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين

“Boleh saja imam itu disebut dengan khalifah, imam, atau amirul mukminin.” (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma, hal. 34).

Nah, setelah kita bentangkan pendapat para ulama yang ahli seperti di atas, lalu kita bandingkan dengan pendapat Ulil yang dangkal dan sembrono, bagaimana pendapat Anda? Bukankah pendapat Ulil itu betul-betul menggelikan dan terkesan seenaknya sendiri?

Namun, yah, kita harus maklum, nampaknya Ulil memang “harus” melakukan permainan kotor seperti itu, yang sesungguhnya amat jauh dari etika seorang intelektual yang seharusnya jujur dan obyektif. Demikianlah ulah agen Amerika yang sangat jahat, yaitu selalu berusaha menyesatkan umat Islam dari pemahaman yang sahih tentang Islam.

Mengapa Imamah dan Khilafah Semakna?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, atas dasar apa para ulama menyamakan pengertian Imamah dan Khilafah? Di sinilah Imam Taqiyuddin An-Nabhani memberi penjelasan yang gamblang dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 2. Imam An-Nabhani berkata,”Telah terdapat hadits-hadits shahih dengan dua kata ini [Khilafah dan Imamah] dengan makna yang satu. Tidak ada makna dari salah satu kedua kata itu yang menyalahi makna kata yang lain, dalam nash syariah mana pun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam As-Sunnah, sebab hanya dua itulah yang merupakan nash-nash syariah. Tidaklah wajib berpegang dengan kata ini, yaitu Khilafah atau Imamah, tapi yang wajib ialah berpegang dengan pengertiannya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2/13).

Jadi, Khilafah dan Imamah memiliki arti yang sama dikarenakan nash-nash syariah, khususnya hadits-hadits shahih, telah menggunakan dua kata itu, yaitu kata “imam” atau “khalifah” secara bergantian namun dengan pengertian yang sama. Sebagai contoh, terkadang Rasulullah SAW menggunakan kata “khalifah” seperti sabdanya :

إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, lihat Majma’ az- Zawaid, Juz 5/198. Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi, Juz 12/242).

Namun kadang Rasulullah SAW menggunakan kata “imam” seperti sabdanya :

من بايع إمامًا فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ما استطاع ، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر

“Barangsiapa membaiat seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya kepadanya, hendaklah ia mentaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan imam itu, maka penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim, hadits no. 1844. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa`i, dan Ahmad).

Kata “khalifah” dan “imam” dalam kedua hadits di atas mempunyai pengertian yang sama, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Islam (ar-ra`is al-a’la li ad-daulah al-islamiyah). (Lihat Rawwas Qal’ah Jie & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 64 & 151). Jika “khalifah” dan “imam” sama pengertiannya, maka sistem pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu “khilafah” dan “imamah”, juga sama maknanya. Tidak berbeda.

Antara Khilafah dan Imarah
Dalam hadits-hadits shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imarah, Qiyadah, atau Ri’asah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan,”Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri`asah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2 hal.125).

Hadits tentang Imarah misalnya sabda Nabi SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, hendaklah satu orang dari mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam. Tapi istilahnya Imamah seperti khayalan dan tipuan Ulil, melainkan Imarah. Imarah inilah yang bersifat umum, sehingga mencakup kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan sebagainya.

Jadi, kalau Ulil menganggap istilah “imam” berarti pemimpin dalam arti umum, bukan pemimpin yang khusus (yaitu pemimpin tertinggi negara Khilafah), berarti dia telah sengaja melakukan penyesatan dan pembodohan yang jahat. Dan semua kebohongan ini ternyata mempunyai tujuan yang sangat busuk, yaitu melegitimasi sistem demokrasi yang kufur saat ini, yang sesungguhnya sudah terbukti sangat bobrok dan gagal total. [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, (www.saaid.net), 1987.

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, (Jakarta : Penerbit Widjaya), 1956.

Al-Yusuf, Muslim, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, (www.saaid.net).

An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2, (Beirut : Darul Ummah), 2002.

Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo : Tanpa Penerbit), 1972.

As-Salus, Ali, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i (Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah), Penerjemah Asmi Salihan Zamakhsyari, (Jakarta : Gema Insani Press), 1997.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra), 2002

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8, (Maktabah Syamilah).

Qal’ah Jie, Rawwas, & Qunaibi, Hamid Shadiq, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun Nafa`is), 1988.