Pemikiran Ushul Fikih Hizbut Tahrir
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Pengantar:Asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani-rahimahullâh-telah melakukan telaah historis yang sangat mendalam dalam kaitannya dengan sejarah usul fikih, peta pemikiran usul fikih mazhab-mazhab Islam klasik, pengaruh pemikiran kalam dan filsafat terhadap usul fikih, dan bagaimana seharusnya usul fikih sebagai kaidah berpikir tasyrî'i itu dibangun. Semua itu telah beliau bahas dan tuangkan dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I, dalam satu bab khusus, Ushul al-Fiqh.
Untuk melacak peta pemikiran usul fikih yang beliau tuangkan dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III, mau atau tidak, kita harus melakukan kajian ulang terhadap hasil telaah historis yang telah beliau lakukan sebelumnya, khususnya analisis historis tentang peta pemikiran ushul di atas. Dengan begitu, kita akan mempunyai gambaran yang utuh tentang pemikiran ushul fikih Hizbut Tahrir.
Harus diakui, bahwa as-Syafii (w. 204 H) adalah orang yang menggariskan dasar-dasar istinbâth dan mensistematisasikannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh (qâ'idah 'âmmah kulliyyah). Karena itu, beliau bisa disebut sebagai peletak dasar ilmu ushul fikih. Alasannya, para fukaha sebelum as-Syafii telah berijtihad, tetapi tanpa panduan istinbâth yang deskriptif. Mereka hanya mengandalkan pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum dan tujuannya, serta apa yang diisyaratkan oleh nash-nash dan tujuan-tujuan (maqâshid)-nya. Karena kebiasaan mereka mempelajari syariah dan skill mereka yang tinggi di bidang bahasa Arab, mereka bisa mengenal dengan mudah makna-maknanya, sekaligus memahami tujuan dan maqâshid-nya. Dalam menggali hukum, mereka biasanya mengkompromikan berbagai nash, pemahaman dan maqâshid-nya, tanpa panduan deskriptif yang dibukukan di hadapan mereka.
Kitab as-Syafii di bidang ushul yang paling populer adalah Ar-Risâlah. Selain itu, ada kitab Ibthâl al-Istihsân, dan Jammâ' al-'Ilm. Bahkan kitab Al-Umm sendiri berisi beberapa pembahasan tentang ushul, seperti dikemukakannya beberapa kaidah kulliyyah ketika membahas beberapa hukum cabang.
Hal yang luar biasa dalam ushul fikih as-Syâfi'i adalah, bahwa beliau telah melakukan pembahasan ushul secara yuristik (tasyrî'i), bukan silogistik (manthiqî). As-Syafii benar-benar telah menjauhkan sejauh-jauhnya ushul fikih dari metode silogistik, dan terikat sepenuhnya dengan metode yuristik. Beliau tidak mengembangkan fantasi dan hipotesis teoretis, namun hanya menetapkan hal-hal yang realistik dan eksis. Karena itu, yang menjadi ciri khas ushul fikih as-Syafii adalah, bahwa ushul fikih tersebut merupakan kaidah istinbâth secara mutlak-terlepas dari metodologi tertentu yang menjadi metodologi mazhabnya. Sebaliknya, ia cocok untuk seluruh metodologi, meski berbeda sekalipun. Ia merupakan paradigma untuk mengetahui pandangan yang sahih dan tidak, juga merupakan aturan yang menyeluruh yang harus diperhatikan ketika menggali hukum-hukum baru-sekalipun orang tersebut telah menyusun metodologinya sendiri untuk menimbang pandangan dan telah terikat dengan aturan global ketika melakukan istinbâth.
Ushul fikih as-Syafii memang bukan hanya kaidah ijtihad bagi mazhabnya, sekalipun mazhabnya harus terikat dengannya. Ia juga tidak berisi pembelaan terhadap mazhabnya dan penjelasan tentang pandangannya. Namun, ia merupakan kaidah istinbâth umum dan menyeluruh. Hal yang menjadi pendorongnya juga bukan tendensi sektarian (kemazhaban), melainkan keinginan untuk menggariskan teknik berijtihad, serta menyusun ketentuan dan deskripsi bagi para mujtahid. Lurusnya maksud dan kesahihan pemahaman beliau dalam menyusun ilmu ushul fikih itu telah mempengaruhi para mujtahid dan ulama pasca as-Syafii, baik yang menentang maupun yang mendukung pandangan-pandangannya. Akhirnya, mereka semuanya-dengan beragam tendensinya-memandang perlu untuk menempuh jalan yang telah dilalui oleh as-Syafii, baik dalam menyusun kaidah global (al-qawâ'id al-kulliyyah) maupun langkah di bidang fikih dan istinbâth berdasarkan kaidah kulliyah dan 'âmmah tersebut. Dengan begitu, pasca beliau, fikih telah dibangun berdasarkan kerangka ushul yang tetap, bukan sebagai kelompok fatwa dan keputusan, sebagaimana kondisi sebelumnya.
Hanya saja, sekalipun semua ulama tersebut menapaktilasi apa yang ditinggalkan as-Syafii dari aspek pemikiran ushul fikih, penerimaan mereka terhadap apa yang telah dihasilkan oleh as-Syafii tetap berbeda, sesuai dengan perbedaan orientasi fikih mereka. Di antara mereka ada yang mengikuti pandangan beliau, men-syarah, memperluas dan-berdasarkan metodologinya-berhasil menelorkan kaidah baru. Ini seperti yang dilakukan oleh para pengikut as-Syafii sendiri.1 Ada yang telah mengambil mayoritas yang dikemukakan oleh as-Syafii, sekalipun ada perbedaan dalam beberapa derivat ushulnya, secara akumulatif tidak berbeda. Sebab, secara akumulatif, sistematika dan langkahnya tidak berbeda dengan ushul as-Syafii. Ini seperti para pengikut Hanafi dan orang yang telah menempuh langkah berdasarkan metodologi-nya.2 Ada yang berbeda dengan as-Syafii dalam ushul fikih ini, seperti para pengikut Zhâhiri dan Syiah.3
Inilah sejarah ushul fikih, peta pemikirannya, kaitan satu dengan yang lain, serta perbedaannya satu sama lain. Sayangnya, perkembangan ushul fikih pasca generasi imam mujtahid tersebut tidak diikuti dengan perkembangan ijtihad. Tidak berkembangnya ijtihad tersebut sebenarnya karena mandulnya ushul fikih sebagai kaidah ijtihad. Itu tidak lain karena ushul fikih ketika itu telah dipenuhi perdebatan kalam dan filsafat, seperti hasan-qabîh (terpuji-tercela), dan syukr al-Mun'im (menyukuri Zat Pemberi nikmat). Akibatnya, ushul fikih telah kehilangan substansinya sebagai kaidah ijtihad. Puncaknya, terjadinya penutupan pintu ijtihad pada pertengahan abad ke-4 H/10 M.
Kritik dan Rumusan Ushul Fikih
Berdasarkan analisis kritis yang dikemukakan di atas, apa yang diinginkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III adalah membuat rumusan ushul fikih yang bukan untuk kepentingan mazhab tertentu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh as-Syafii dengan ar-Risalah, Ibthal al-Istihsân, Jamâ' al-'Ilm dan Al-Umm-nya. Sebab, Hizbut Tahrir yang mengusung pemikiran ushul fikih tersebut bukanlah mazhab, dan tidak bertujuan untuk mendirikan mazhab tertentu. Khilafah yang ingin dibangun oleh Hizbut Tahrir juga bukan negara mazhab. Karena itu, ushul fikih yang diusung oleh Hizbut Tahrir ini justru didedikasikan untuk semua mazhab, dan kelak bisa menjadi pegangan bagi Khalifah dalam berijtihad untuk merumuskan kebijakannya.
Sebagaimana ushul fikih yang dirumuskan oleh asy-Syafii, pendekatan yang digunakan di dalam ushul fikih ini juga sama, yaitu metode tasyri'i (yuristik), dan bukan manthiqî (silogistik). Semua yang dituangkan dalam ushul fikih ini pun merupakan perkara yang disepakati oleh kalangan ulama ushul sebagai syar'i sehingga produknya pun bisa dipastikan syar'i.4 Selain itu, substansi ushul fikih sebagai kaidah berpikir tasyrî'i berhasil ditampilkan; berbagai perdebatan kalam dan filsafat yang bertele-tele dan melelahkan telah dibuang.5 Dengan begitu, siapapun yang menelaahnya akan menemukan sebuah kaidah berpikir tasyrî'i yang dia butuhkan untuk membangun pemikiran hukum.
Sistematika Pembahasan
An-Nabhani kemudian mendefinisikan ushul fikih dengan kaidah yang bisa digunakan untuk menggali hukum syariah dari dalil-dalil tafshîli (kasuistik).6 Dengan definisi ini, sebenarnya obyek pembahasan ushul fikih meliputi dalil, hukum, dan segala hal yang terkait dengan keduanya. Karena itu, beliau sengaja tidak memasukkan pembahasan di luar kedua konteks tersebut, seperti ijtihad dan taklid, sebagaimana lazimnya kitab-kitab ushul fikih.
1- Hukum dan segala yang terkait dengannya.
Dalam hal ini, ada empat hal yang dibahas: (1) Al-Hâkim (Pembuat hukum); (2) al-Mahkûm 'alayh (obyek hukum); (3) al-Mahkûm fîh (sasaran hukum); dan (4) al-Hukm (hukum).
Mengenai al-Hâkim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum, kesimpulannya hanya Allah.7 Adapun siapa yang menjadi obyek hukum (al-mahkûm 'alayh), yang lazim disebut mukallaf, kesimpulannya adalah semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan syarat: balig, berakal dan mampu. Ini tentu berlaku dalam konteks khithâb, dan bukan dalam konteks tathbîq. Sebab, sebagai obyek seruan (al-mukhâthab), baik Muslim maupun non-Muslim sama, yaitu sama-sama terkena seruan hukum, tanpa pengecualian sedikitpun. Hanya saja, dalam tataran implementasi (tathbîq)-nya, tetap dibedakan. Mengenai sasaran hukum (al-mahkûm fîh)-nya, tidak lain adalah af'âl al-'ibâd (perbuatan manusia). Adapun hukumnya sendiri bisa diklasifikasikan berdasarkan ragam seruan (khithâb)-nya menjadi dua: hukm at-taklîfî dan hukm al-wadh'î. Masing-masing terdiri dari wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah untuk hukm at-taklîfî; sedangkan syarat, sebab, mâni', 'azîmah-rukhshah, serta sah-fasad-batal untuk hukm al-wadh'î.
Inilah empat hal yang berkaitan dengan pembahasan hukum. Selebihnya, kitab ini lebih banyak membahas tentang dalil dan segala yang terkait dengannya.
2- Dalil dan segala yang terkait dengannya.
Mengenai dalil, an-Nabhani, menegaskan bahwa dalil syariah harus qath'i, karena merupakan perkara ushul, bahkan kedudukannya dalam konteks ushul fikih sangat penting. Dari sinilah, beliau memetakan dalil yang benar-benar layak disebut dalil dan sesuatu yang diklaim sebagai dalil padahal bukan dalil. Yang pertama adalah al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas; sedangkan yang kedua adalah Syar'u Man Qablana, Mazhab Sahabat, Istihsân, Mashâlih Mursalah, dan Maâlât al-Af'âl. Khusus mengenai Maqâshid asy-Syarî'ah, beliau menegaskan bahwa Maqâshid asy-Syarî'ah bukanlah dalil syariah, yang tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan hukum, layaknya dalil.
Ini tentang dalil. Mengenai bagaimana dalil tersebut digunakan untuk menarik kesimpulan hukum (kayfiyyah al-istidlâl), an-Nabhani memaparkan karakteristik dalil, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai dua nash yang berbahasa Arab, yang harus diketahui dan dikenali dengan cara riwâyah. Dari sana lahirlah: rumusan tentang ragam ungkapan, seperti Mufrad (tunggal) dan Murakkab (ganda); ragam ungkapan dari aspek lafal dan maknanya, seperti Munfarid, Musytarak, Mutaradif, Haqiqah dan Majaz; serta dalâlah lafal, seperti Manthûq dan Mafhûm dengan segala kriterianya.
Dalam konteks dalil, al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai teks hukum, isinya bisa diklasifikasikan menjadi lima: Pertama, perintah dan larangan (al-amr wa an-nahy). Kedua, umum dan khusus (al-'âm wa al-khâsh). Ketiga, bebas dan terikat (al-muthlaq wa al-muqayyad). Keempat, global dan deskriptif (al-mujmal wa al-mubayyan). Kelima, penghapus dan yang terhapus (an-nâsikh wa al-mansûkh). Masing-masing kemudian diuraikan secara mendetail.
Pada bagian akhir, an-Nabhani memasukkan pembahasan tentang at-Ta'âdul wa at-Tarâjih, sebagai penegasan dari penjelasan lain tentang quwât ad-dalîl dalam kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I. Sebagai catatan tambahan, kitab ini sebenarnya banyak diilhami oleh dua karya besar ulama sebelumnya, yaitu al-Amidi dengan al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, dan as-Syaukani dengan Irsyâd al-Fuhûl-nya. Dua rujukan ini juga digunakan di kalangan pesantren tradisional NU. Wallâhu a'lam.
Catatan Kaki
1. Yang mengikuti pandangan-pandangan as-Syafii adalah para pengikut Hanbali. Mereka telah mengambil ushul fikih as-Syafii sekalipun mereka berpendapat bahwa Ijmak yang bisa diterima hanyalah Ijmak Sahabat. Adapun para pengikut Maliki, yang lahir pasca as-Syafii, metodologi mereka kebanyakan sebenarnya sama dengan yang dikemukakan dalam ushul fikih as-Syafii; meskipun mereka menetapkan perbuatan penduduk Madinah sebagai hujjah (dalil) dan berbeda dengan beliau dalam beberapa rincian. Mereka yang menempuh jalan as-Syafii dan mengembangkan pandangan-pandangannya adalah para pengikut mazhabnya. Dalam hal ini, telah disusun beberapa buku di bidang ushul fikih berdasarkan metodologi as-Syafii, yang masih tetap menjadi pilar dan penyangga ilmu ini. Karya orang-orang terdahulu yang paling agung dan telah dikenal adalah tiga buku: Pertama, buku Al-Mu'tamad karya Abu al-Husayn Muhammad bin al-Bashri (w. 413 H); Kedua, buku Al-Burhân karya Abd al-Malik bin Abdillah al-Juwaini, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramain (w. 478 H); Ketiga, kitab Al-Mustashfâ karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Setelah mereka muncul Abu al-Husain Ali yang terkenal dengan nama al-Amidi (w. 631 H). Beliau mengumpulkan ketiga buku ini dan memberikan beberapa tambahan dalam buku yang diberi nama Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, yang merupakan buku paling agung yang pernah disusun dalam bidang ushul fikih.
2. Yang kebanyakan mengambil dari yang dikemukakan oleh as-Syafii, namun berbeda dalam beberapa rincian, adalah para pengikut Hanafi. Sebab, metodologi istinbâth mereka sama dengan ushul fikih as-Syafii, namun dalam ilmu ushul fikih tersebut mereka mempunyai kecenderungan yang terpengaruh dengan masalah derivatif (furû'). Mereka mengkaji kaidah ushul yang digunakan untuk mendukung masalah derivatif sehingga mereka telah menjadikan masalah derivatif tersebut sebagai dasar; kaidah umum dibangun berdasarkan masalah derivatif, lalu digunakan untuk mendukungnya. Boleh jadi, hal yang mendorong mereka mempunyai kecenderungan seperti ini adalah pembahasan mereka mengenai ushul, yaitu untuk mendukung mazhab mereka, bukan menghasilkan kaidah yang menjadi dasar istinbâth mereka. Ini karena istinbâth Abu Hanifah (w. 150 H), yang telah mendahului as-Syafii, dan wafat pada tahun ketika as-Syafii dilahirkan, tidak didasarkan pada kaidah umum yang menyeluruh. Begitu juga murid-murid yang hidup setelahnya seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zafar. Mereka belum memberikan perhatian khusus untuk menyusun ushul fikih sehingga datanglah kemudian para ulama mazhab Hanafi; mereka mempunyai kecenderungan untuk menggali kaidah yang bisa membantu masalah-masalah derivatif mazhab Hanafi. Jadi, kaidah tersebut datang belakangan, setelah derivatnya, dan bukan sebelumnya. Sekalipun demikian, ushul mazhab Hanafi secara keseluruhan ditelurkan dari ushul fikih as-Syafii. Hal yang berbeda dengan mazhab as-Syafii-seperti lafal umum itu qath'i sebagaimana lafal khusus, dan tidak ada ruang bagi mafhûm as-syarth dan shifat, tidak bisa men-tarjîh karena banyaknya perawi, dan sebagainya-adalah masalah furû', bukan kaidah kulliyah. Karena itu, bisa dikatakan bahwa ushul fikih Hanafi dan as-Syâfii adalah ushul fikih yang sama. Kecenderungannya pada masalah derivatif dan perbedaannya dalam beberapa rincian tidak bisa dikatakan sebagai ushul fikih yang berbeda. Keduanya merupakan ushul fikih yang sama, dari aspek keseluruhan, keglobalan dan kaidah-kaidahnya. Bahkan, Anda hampir tidak akan menemukan adanya perbedaan kitab ushul fikih as-Syafii dengan kitab ushul fikih Hanafi. Kitab ushul fikih mazhab Hanafi yang paling agung adalah Ushûl al-Bazdawi atau Kanz al-Wushûl Ilâ Ma'rifah al-Ushûl, yang ditulis oleh Fakhr al-Islam Ali bin Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).
3. Yang berbeda dengan ushul fikih as-Syafii adalah mazhab Zhahiri dan Syiah. Mereka berbeda dengan ushul fikih as-Syafii dalam beberapa pilar dasarnya, bukan hanya rinciannya. Mazhab Zhahiri jelas menolak Qiyas, semuanya, dan mereka hanya berpijak pada zhâhir-nya nash. Bahkan apa yang disebut dengan Qiyâs Jalli pun tetap tidak mereka anggap sebagai Qiyas, melainkan sebagai nash. Penilaian mereka terhadap nash adalah penilaian terhadap zhâhir-nya, bukan yang lain. Imam mazhab ini adalah Abu Sulaiman Dawud bin Khalaf al-Asfahani (w. 270 H). Beliau awalnya pengikut mazhab as-Syafii dan mendapat pendidikan fikih dari para pengikut as-Syafii, lalu meninggalkan mazhab as-Syafii dan memilih membuat mazhab sendiri, yang hanya berpijak pada nash, kemudian mazhabnya disebut mazhab Zhâhiri. Di antara pengikutnya adalah Imam Ibn Hazm. Beliau telah memasarkannya kepada sebagian orang, dan mereka juga telah memberikan bentuk yang brilian terhadapnya sehingga buku-bukunya diterima, padahal buku-buku tersebut bukan buku fikih dan ushul yang berbeda dari aspek pembahasan fikih dan wajh al-istidlâl-nya. Adapun Syiah, mereka berbeda dengan ushul fikih as-Syafii dengan perbedaan yang sangat besar. Sebab, mereka telah menjadikan pernyataan para imam mereka sebagai dalil syariah, sebagaimana al-Quran dan as-Sunnah. Bagi mereka, itu adalah hujjah, setidak-tidaknya setelah ke-hujjah-an al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka juga menjadikan kata-kata para imam sebagai mukhashshish (pengkhusus) atas as-Sunnah. Syiah Imamiyah bahkan telah memposisikan para imam mereka berdampingan dengan as-Sunnah. Bagi mereka, ijtihad itu terikat dengan mazhab sehingga seorang mujtahid tidak boleh menyimpang dari pandangan-pandangan mazhabnya. Artinya, mujtahid tidak boleh berijtihad dengan ijtihad yang menyimpang dari pandangan Imam Ja'far ash-Shadiq. Mereka menolak hadis, kecuali melalui jalur para imam mereka. Mereka tidak menggunakan Qiyas (analogi). Telah diriwayatkan secara mutawatir dari para imam mereka, sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam buku-buku mereka, bahwa jika syariah dianalogikan maka agama ini pasti hancur.
4. Ini, antara lain, terlihat dalam pembahasan tentang dalil. Di sini, beliau memilah, mana yang layak disebut dalil, bagaimana semestinya kedudukan dalil, serta mana yang diklaim sebagai dalil, sekalipun bukan dalil. Dalam rumusannya tentang dalil, an-Nabhani hanya menerima empat: al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Adapun yang lain, seperti Syar'u man Qablana, Mazhab Sahabat, Mashâlih Mursalah, Istihsân, dan Ma'âlât al-Af'âl yang diklaim sebagai dalil, dengan tegas beliau nyatakan bukan dalil. Bahkan dalam kasus Qiyas, beliau menetapkan bahwa Qiyas yang bisa diterima adalah Qiyas Syar'i, yang 'illat-nya dinyatakan oleh nash, bukan akal.
5. Pembahasan hasan-qabîh beliau dudukkan dalam konteks al-Hâkim, siapa yang berhak membuat hukum? Sedikit pun beliau tidak menyinggung perdebatan Muktazilah dan Ahlussunnah, tetapi langsung membuat rumusan, tiga skema hasan-qabih; mana yang bisa ditentukan oleh akal dan mana yang tidak, berikut alasannya. Meski demikian, kesimpulannya sama dengan al-Baqillani dan al-Iji, bahwa al-hasan mâ hassanahu as-syar'u wa al-qabîh ma qabbahahu as-syar'u (Terpuji adalah apa dipuji oleh syariah dan tercela adalah apa yang dicela oleh syariah).
6. Dalil tafshîlî itu adalah dalil kasus-perkasus, atau dalil kasuistik. Misalnya dalil mengenai wajibnya shalat adalah QS al-Baqarah [2]: 43, 83, dan 110. Dalil wajibnya puasa Ramadhan adalah QS al-Baqarah [2]: 183. Dalam hal ini, dalil kasus shalat tidak bisa digunakan untuk dalil dalam kasus yang lain; meskipun al-Quran berisi dalil bagi kasus-kasus yang lain. Dengan demikian, al-Quran itu sendiri disebut dalil ijmâli.
7. Meski demikian, pada saat yang sama, dalam dua konteks yang berbeda, hak akal untuk menjadi hakim tetap tidak dinafikan. Pertama, ketika menghukumi mahiyah (substansi) benda; apakah gula manis, kopi pahit, es dingin, dan seterusnya. Kedua, ketika menghukumi fakta yang sesuai dan tidaknya dengan fitrah manusia; seperti zalim buruk, adil baik, dan seterusnya.