Minggu, 11 Oktober 2009

MENGKRITISI KONSEP THEO-DEMOKRASI

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Makna Theo-Demokrasi

Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.

Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik "kedaulatan rakyat" seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).

Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,"Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat..." (Al-Maududi, 1988:67).

Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT (Al-Maududi, 1988:67).

Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:17).

Penggunaan Istilah Theo-Demokrasi
Catatan kritis pertama adalah penggunaan istilah theo-demokrasi itu sendiri. Bolehkah kita menggunakan istilah Barat yang maknanya bertentangan dengan Islam, seperti theokrasi dan demokrasi, lalu diberi makna baru atau catatan-catatan agar tidak bertentangan dengan Islam?

Memang, Al-Maududi sendiri menolak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat yang sekuler. Benar pula bahwa dia pun lalu memberikan muatan makna baru yang Islami seraya menolak muatan makna yang sekuler. Namun dia sendiri tidak pernah menjelaskan argumentasi yang membolehkan pemaknaan ulang suatu istilah asing seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu celah kelemahan konsep theo-demokrasi.
Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan (An-Nabhani, 2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih." (QS Al Baqarah : 104)

"Raa’ina" artinya adalah "sudilah kiranya Anda memperhatikan kami." Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut "Raa’ina", padahal yang mereka katakan adalah "Ru’uunah" yang artinya "kebodohan yang sangat." Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan "Raa’ina" dengan "Unzhurna" yang sama artinya dengan "Raa’ina". Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, theokrasi, atau theo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif Islami (Abdullah, 1996:10-11).

Kedaulatan dan Kekuasaan
Catatan kritis kedua, bahwa konsep theo-demokrasi tidak secara jernih membedakan "kedaulatan" dan "kekuasaan" dalam perspektif Islam. Ada semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya dicampuradukkan menjadi satu, karena kata "theo" mewakili konsep kedaulatan Tuhan (theokrasi), sedang kata "demokrasi" mewakili konsep kekuasaan rakyat. Meski disayangkan, namun hal ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik Barat yang dominan di seluruh dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu sumber yang sama, yaitu rakyat. Sebab rakyat menurut Barat adalah sumber legislasi (source of legislation) sekaligus sumber kekuasaan (source of power).Meski demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat dibedakan. Kedaulatan (as-siyadah, sovereignty) merupakan konsep yang berkaitan dengan kewenangan membuat hukum (legislasi). Sedang kekuasaan (as-sulthan, power) berkaitan dengan siapa yang berwenang menerapkan hukum itu dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980:24; Al-Jawi, 2003:209-210).

Berdasarkan pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990:38-40) merumuskan konsepnya mengenai kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam. Kedaulatan (as-siyadah) dalam Islam, adalah di tangan syara’ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi Pembuat Hukum (Al-Musyarri’, Law Maker) hanyalah Allah SWT (lihat misalnya QS Al-An’aam : 57). Adapun kekuasaan (as-sulthan), adalah di tangan umat (as-sulthan li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan yang tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh An-Nabhani, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan konsep theo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan menjadi satu, sehingga masih berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman.

Kedaulatan Tuhan
Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep "kedaulatan Tuhan" (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi. Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep "kedaulatan di tangan syara’", dan bukannya konsep "kedaulatan Tuhan". Secara substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak menggunakan istilah "kedaulatan Tuhan" yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori "kedaulatan Tuhan" terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori "kedaulatan Tuhan" tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan (Asshidiqie, 1995:23). Dalam theokrasi Barat ini, konsep "kedaulatan Tuhan" mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma’shum, infellible). Jadi, negara theokrasi --yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan-- merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (lihat Al-Imam Al-Khomeini, "Al-Wilayah At-Takwiniyah", Al-Hukumah Al-Islamiyah, hal. 52).

Dari uraian sekilas ini, nampak teori "kedaulatan Tuhan" sungguh tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori "kedaulatan Tuhan" (theokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -–bukan wakil Tuhan-- dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani, 1990:48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum. Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan (An-Nabhani, 1990:119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994:86-87). Walhasil, adanya kontradiksi tajam antara "kedaulatan Tuhan" dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai "kedaulatan di tangan syara’ " (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah li-llah), demi kejernihan pemikiran.

Penutup
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep theo-demokrasi lebih banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep theo-demokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan Kerajaan. Tapi konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem republik –atau republik Islam-- dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena konsep theo-demokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit diganti menjadi "republik Islam", seperti misalnya Republik Islam Pakistan.

Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (mustanir). Konsep yang kabur atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang lebih jernih dan cemerlang. Bukankah Nabi SAW telah bersabda : "Tinggalkan apa yang meragukanmu (untuk) menuju apa yang tidak meragukanmu." (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dan Ath-Thabrani) [ ]

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Cetakan I.Beirut : Darul Bayariq.

Al-Jawi, M. Shiddiq. 2003. "Must Islam Accept Democracy?" dalam David Bourchier & Vedi R. Hadiz (Editor). Indonesian Politics and Society : A Reader. London-New York : RoutledgeCurzon. hal. 207-211

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. Cetakan I. Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah.

Al-Maududi, Abul A’la. 1988. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.

Amiruddin, M. Hasbi. 2000."Teori Kedaulatan Tuhan". Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press. hal. 103-105.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. t.tp. : t.p.

Asshidiqie, Jimly. 1995. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Cetakan I. Jakarta : Gema Insani Press.

Djaelani, Abdul Qadir. 1994. "Kedaulatan Tertinggi dalam Negara". Sekitar Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Media Dakwah. Hal. 83-87.

Khomeini, Imam. Tanpa tahun. Al-Hukumah Al-Islamiyah. T.tp. : t.p.

Rais, Amien. 1988. "Kata Pengantar". Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.

Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir. Cetakan II. Beirut : Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.

Sumber : http://al-fatih.blogspot.com/2007/05/mengkritisi-konsep-theo-demokrasi.html

“Kabut” Ahmad Syafii Maarif

Selasa, 28 November 2006

Ahmad Syafii Maarif “menelikung” pemikiran Buya HAMKA, seolah-olah beliau seorang yang rindu dunia untuk didiami siapa saja meski “beragama atau tidak”

Oleh: Irena Handono *

Ahmad Syafii Maarif, bekas ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menerima pesan singkat dari jenderal polisi yang bertugas di Poso. Sang jenderal minta Syafii membantunya memahami ayat 62 surat Al-Baqarah. Jenderal itu berharap makna ayat itu akan membantunya mengurai konflik yang terjadi di Poso. Tulisan yang dimaksud berjudul, “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” di Harian Republika, (Selasa 21 November 2006).
Di bawah ini kutipanya;
“ Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.”

Dalam tulisan itu, Syafii juga mengatakan jika yang dimaksud Hamka itu adalah masalah toleransi. Padahal bukan. Menurut saya, buku tafsir itu dibacanya dengan fikiran yang “berkabut”. Kesimpulannya, hal-hal yang benar dari Hamka tertutup dan memunculkan pemikiran Syafii Maarif sendiri.
“Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”

Menurut Syafii Maarif, Hamka adalah seorang mufassir yang berani. Saya setuju dan benar sekali. Bahkan beliau sudah menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tepat dan gamblang, termasuk surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 serta Ali Imran ayat 85 yang terkait dengan ayat 62 surat Al- Baqarah.
Tafsir Hamka terhadap surat Al-Baqarah ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shaleh, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita "
Surat AlMaidah ayat 69: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabiun, dan Nashara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan diapun mengamalkan amal yang shaleh, maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."

Merujuk pada Tafsir Al Azhar. karya Prof.DR Hamka, seharusnya Syafii Maarif bisa menjawab pertanyaan sang jenderal polisi dengan tegas dan benar. Sebab pada buku juz 1 halaman 212, Hamka menyatakan sebagai berikut :
"Di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa semua mereka tidak merasakan ketakutan dan dukacita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat dan diikuti dengan amal yang saleh. Dan keempat-empat golongan itu lalu beriman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka."
Jadi, penafsiran Prof DR Hamka, bukan tentang toleransi antar ummat beragama, tapi yang paling pokok adalah keempat golongan itu hendaknya beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itulah syarat mutlak untuk mendapatkan ganjaran disisi Tuhan mereka. Mestinya penafsiran yang gamblang ini jangan lagi diberi bayang-bayang kabut, karena tidak ada ayat Al Quran yang saling bertentangan, tapi justru saling melengkapi.

Sebaliknya, Syafii Maarif "menjejalkan" fikirannya dengan menggambarkan Hamka sebagai seorang yang rindu akan dunia yang aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing Jadi, seolah-olah Hamka menyatakan beragama atau tidak bukan masalah, toh semua agama sama.
Saran saya, supaya tidak terkesan “menelikung” pemikiran Prof. Hamka, hendaknya Syafii Maarif juga mengutip pemikiran beliau pada halaman 214 dan 215 yaitu, "kerapkali menjadi kemuskilan bagi orang yang membaca ayat ini, karena disebut yang pertama sekali ialah orang-oang yang beriman, kemudiannya baru disusul oleh Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Setelah itu disebutkan bahwa semuanya akan diberikan ganjaran oleh Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang beriman disyaratkan beriman lagi ?"

Lebih jauh Hamka berpendapat, "setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud disini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah. Tetapi pengakuan tadi baru pengakuan saja,belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan rukun Islam yang lima perkara, maka iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan, maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Barulah keempat itu terkumpul menjadi satu, apabila semuanya memperbaharui iman, kembali kapada Allah dan Hari Akhirat, serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan."
Itulah syarat mutlak sehingga keempat golongan itu menjadi satu dan padu yaitu beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal shaleh. Adapun yang tidak dikutip oleh Syafii Maarif sehingga pemikirannya berkabut adalah kalimat Prof. Hamka pada halaman 215 yaitu, "Apabila telah bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, maka pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran."

Ciri yang khas dari titik kebenaran itu adalah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang SATU ; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam ! Maka dengan demikian orang yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya. Inilah sebenarnya pemikiran Islami dari Prof. DR. Hamka yang ditelikung oleh Syafii Maarif, yang mengaku sebagai ‘sang murid.’
Di sisi lain, pernahkah terfikirkan oleh Syafii Maarif bahwa keyakinan Kristiani menyatakan Allah dalam Al Quran bukan Tuhan dalam Bible (Lihat buku .The Islamic Invasion, karya Robert Morey, edisi Bahasa Indonesia, Halaman 62, yang isinya sebagai berikut;
"Ketika kita bandingkan sifat-sifat Tuhan Al Kitab (Bible) dengan sifat-sifat Tuhannya Al Quran, muncul dengan jelas, bahwa keduanya bukanlah dari Tuhan yang sama!" Bahkan pada halaman yang sama tertulis bahwa : "Latar belakang sejarah mengenai asal-usul dan makna kata Arab "Allah" bukanlah Tuhan yang menjadi sesembahan orang Yahudi dan orang Kristen. Allah hanyalah suatu berhala Dewa Bulan bangsa Arab yang dimodifikasi dan ditingkatkan maknanya."

Pada halaman yang sama Robert Morey mengutip pendapat Doktor Samuel Schlorff, yang menyatakan dalam tulisannya mengenai perbedaan mendasar antara Allah dalam Al Quran dan Tuhan dalam Al Kitab (Bible) sebagai berikut; " Saya percaya bahwa kunci masalahnya adalah pertanyaan mengenai hakekat Tuhan dan bagaimana Tuhan berhubungan dengan ciptaannya ; Islam dan Kristen, meskipun mempunyai kesamaan secara formal, sesungguhnya sangat jauh berbeda dalam masalah tersebut."

Nah marilah kita merenung kembali, samakah semua agama, samakah semua kitab suci? Seharusnya Ahmad Syafii Maarif –apalagi dia mantan Ketua PP Muhahammadiyah-- meyakini bahwa; "satu-satunya agama di sisi Allah hanyalah Islam." Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah pendiri ‘Irena Center’ dan Ketua Umum Gerakan Muslimat Indonesia (GMI)

Sumber : www.hidayatullah.com

Sabtu, 03 Oktober 2009

Makna Gempa Sumatra


Makna Gempa Sumatra



Penulis: Adian Husaini

Bumi Indonesia, negeri kita, lagi-lagi dihantam gempa. Kali ini, 30 September 2009, wilayah Sumatra Barat, khususnya kota Padang dan Pariaman menerima pukulan berat. Bumi digoncang keras dengan gempa berkekuatan 7,6 skala Richter. Hampir semua gedung bertingkat di Kota Padang runtuh atau rusak berat. Ratusan orang tertimbun dalam reruntuhan gedung. Ratusan lainnya tertimbun tanah. Bahkan ada puluhan anak yang sedang belajar di satu gedung bimbingan belajar tertimbun reruntuhan bangunan.
Mengapa semua ini terjadi? Mengapa peristiwa ini menimpa bumi Minang yang terkenal dengan semboyan ”Adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah”. Dan Mengapa ini terjadi? Padahal, baru sebulan lalu, pada awal September 2009, tepat di awal-awal Ramadhan 1430 Hijriah, wilayah kita lain, Jawa Barat bagian selatan, dihantam gempa serupa. Hanya saja, karena lokasi pusat gempa yang jauh dari daerah pemukiman, maka dampaknya tidak sedahsyat gempa di Sumatra kali ini. Namun, waktu itu, gempa sempat membuat panik warga ibu kota Jakarta. Banyak gedung bertingkat sudah bergoyang dan penghuninya berhamburan.
Seperti biasa, setiap terjadi gempa, para ilmuwan selalu menjelaskan, bahwa gempa terjadi karena bergeser atau pecahnya lempengan tertentu di bumi. Bagi orang sekular, gempa dianggap sebagai peristiwa alam biasa. Tidak ada hubungannya dengan aspek Ketuhanan. Tapi, sebaliknya, orang mukmin yakin benar bahwa gempa ini bukan sekedar peristiwa alam biasa. Hubungan kausalitas tidaklah bersifat pasti, tetapi tergantung kepada kehendak (Iradah) Allah. Api yang mestinya membakar tubuh Nabi Ibrahim, bisa kehilangan daya bakarnya, karena kehendak Allah. Biasanya, dalam berbagai bencana muncul berbagai ”keajaiban” yang di luar jangkauan manusia.

Allah SWT menjelaskan dalam al-Quran (yang artinya):“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Hadid:22-24)
Sebuah ayat al-Quran juga menjelaskan terjadinya peristiwa semacam gempa bumi di masa lalu, (yang artinya): "Orang-orang sebelum mereka telah melakukan makar kepada Allah, maka Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari pondasi-pondasinya, dan Allah menjatuhkan atap-atap (bangunan) dari atas mereka, dan Allah menurunkan azab dari arah yang tidak mereka perkirakan.” (QS an-Nahl: 26). Entah rahasia apa yang terkandung dalam Gempa Sumatra kali ini. Setiap musibah mengandung banyak makna. Akal kita terlalu terbatas untuk memahami hakekat segala sesuatu dalam kehidupan. Kita tidak mudah paham, mengapa dalam gempa kali ini, begitu banyak anak-anak yang tertimbun reruntuhan gedung. Anak-anak itu sedang belajar. Bukan sedang bermaksiat. Hikmah apa yang terkandung dalam peristiwa semacam ini? Tidak mudah memahami semua itu, sebagaimana juga Nabi Musa a.s. sangat sulit memahami berbagai tindakan Chaidir a.s.

Memang, suatu musibah bisa bermakna sebagai hukuman Allah bagi orang-orang yang berdosa. Musibah juga bisa bermakna ujian bagi orang-orang yang beriman. Musibah pun bermakna peringatan Allah bagi orang-orang yang selamat. Kita yang selamat dari musibah, sejatinya sedang diberi peringatan oleh Allah, agar kita segera ingat kepada Allah, agar segera melakukan evaluasi dan segera melakukan perbaikan diri. Biasanya, manusia memang cenderung mendekat kepada Allah ketika berada dalam bahaya. Kita biasanya berdoa dengan tulus ikhlas ketika pesawat yang kita tumpangi dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Ketika itu kita berjanji, berdoa dengan tulus, bahwa kalau kita selamat, maka kita akan berbuat baik di dunia. Tapi, ketika pesawat mendarat dengan selamat, maka biasanya manusia kembali melupakan Allah dan sibuk dengan urusan dunia. Sejumlah ayat al-Quran menggambarkan sifat manusia kebanyakan semacam itu:

”Dialah (Allah) yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan; sehingga ketika kamu berada di dalam bahtera, lalu meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, maka datanglah angin badai; dan ketika gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka tengah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Maka, tatakala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi, tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu; lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Yunus: 22-23).
Bagi saudara-saudara kita yang terkena musibah, Insyaallah ini adalah ujian bagi mereka. Jika mereka sabar, maka pahala besarlah bagi mereka. Ujian adalah bagian dari kehidupan orang mukmin, baik ujian senang maupun ujian susah. Manusia selalu diuji imannya. Dengan ujian itulah, maka tampak, siapa yang imannya benar dan siapa yang imannya dusta.

”Apakah manusia menyangka b ahwa mereka akan dibiarkan mengatakan ”Kami beriman”, sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS al-Ankabut: 2-3).
Lihatlah di dunia ini! Ada orang-orang yang diuji oleh Allah dengan segala macam kekurangan. Ada yang diuji dengan kecacatan, kebodohan, dan kemiskinan. Ada yang diuji dengan harta melimpah, kecerdasan, dan kecantikan. Ada yang diuji dengan musibah demi musibah. Semua itu adalah ujian dari Allah. Hidup di dunia ini adalah menempuh ujian demi ujian. Jika kita lulus, maka kita akan selamat di akhirat. Karena itu, apa pun hakekat dari musibah gempa Sumatra kali ini, maka mudah-mudahan ujian itu mampu mendorong saudara-saudara kita di sana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan semakin aktif berdakwah memberantas segala bentuk kemunkaran yang mendatangkan kemurkaan Allah. Kita diingatkan, bahwa manusia mudah lupa. Sampai beberapa hari setelah musibah, biasanya masjid-masjid masih dipenuhi jamaah. Tapi, setahun berlalu, biasanya manusia sudah kembali melupakan Allah dan lebih sibuk pada urusan duniawi.
Bagi yang meninggal dalam musibah, kita doakan, semoga mereka diterima Allah dengan baik; amal-amalnya diterima, dan dosa-dosanya diampuni. Musibah tidak pandang bulu. Manusia yang baik dan buruk juga bisa terkena. Allah SWT sudah mengingatkan, “Dan takutlah kepada fitnah (bencana, penderitaan, ujian) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya.” (QS an-Anfal:25).

Kita yang selamat baiknya segera menyadari, bahwa di mana pun kita berada, kematian akan selalu mengintai. Dalam surat an-Nahl:26, kita diingatkan, bahwa hukuman Allah ditimpakan kepada umat manusia, karena melakukan makar kepada Allah. Mereka berani menentang Allah secara terbuka, secara terang-terangan. Kita tidak perlu ikut-ikutan tindakan makar kepada Allah yang dilakukan sebagian orang. Misalnya, Allah jelas-jelas menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina. Tetapi yang kita saksikan, di negeri kita, ada orang nikah malah masuk penjara dan para pelaku zina tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Bahkan, di negeri yang harusnya menjunjung tinggi paham Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) ini, sejumlah media massa berani menghujat hukum-hukum Allah secara terbuka. Padahal, yang berhak menentukan halal dan haram adalah Allah. Adalah tindakan yang tidak beradab jika maanusia berani merampas hak Allah tersebut.

Kita menyaksikan, bagaimana sekelompok orang – dengan alasan kebebasan berekspresi (freedom od expression) -- dengan terang-terangan menantang aturan Allah dalam soal pakaian. Mereka menyerukan kebebasan. Mereka pikir, tubuh mereka adalah milik mutlak mereka sendiri, sehingga mereka menolak segala aturan tentang pakaian. Bukankah tindakan itu sama saja dengan menantang Allah: ”Wahai Allah, jangan coba-coba mengatur-atur tubuhku! Mau aku tutup atau aku buka, tidak ada urusan dengan Engkau. Ini urusanku sendiri. Ini tubuh-tubuhku sendiri! Aku yang berhak mengatur. Bukan Engkau!” Memang, menurut Prof. Naquib al-Attas, ciri utama dari peradaban Barat adalah ”Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan!” ((Man is deified and Deity humanised). Manusia merasa berhak menjadi tuhan dan mengatur dirinya sendiri. Persetan dengan segala aturan Tuhan!
Para ulama sering menyerukan agar tayangan-tayangan di TV yang merusak akhlak dihentikan. Banyak laki-laki yang berpakaian dan berperilaku seperti wanita. Padahal itu jelas-jelas dilaknat oleh Rasulullah saw. Tapi, peringatan Rasulullah saw yang disampaikan para ulama itu diabaikan, bahkan dilecehkan. Kaum wanita yang tercekoki paham kesetaraan gender didorong untuk semakin berani menentang suami, menolak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, dan menganggap wanita sama sederajat dengan laki-laki. Bahkan, di zaman seperti sekarang ini, ada sejumlah dosen agama yang secara terang-terangan berani menghalalkan perkawinan sesama jenis. Manusia seperti ini bahkan dihormati, diangkat sebagai cendekiawan, disanjung-sanjung, diundang seminar ke sana kemari, diberi kesempatan menjadi dosen agama. Jika manusia telah durhaka secara terbuka kepada Allah, maka Sang Pencipta tentu mempunyai kebijakan sendiri. Rasulullah SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim). Dalam soal homoseksual, Allah sudah memperingatkan:

“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". (QS al-Ankabut:28).
Rasulullah saw juga memperingatkan:
“Barangsiapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Ahmad). Pada setiap zaman, manusia selalu terbelah sikapnya dalam menyikapi kebenaran. Ada yang menjadi pendukung kebenaran dan ada pendukung kebatilan. Yang ironis, di era kebebasan sekarang ini, ada orang-orang yang sebenarnya tidak memahami persoalan dengan baik, ikut-ikutan bicara. Pada 29 September 2009 lalu, dalam perjalanan kembali ke Jakarta, di tengah malam, saya mendengarkan pro-kontra masyarakat tentang rencana kedatangan seorang artis porno dari Jepang ke Indonesia. Si artis itu kabarnya akan main film di Indonesia. Yang ajaib, banyak sekali pendengar radio tersebut yang menyatakan dukungannya terhadap kedatangan artis porno tersebut. Kata mereka tidak ada alasan untuk melarangnya, karena dia bukaan teroris. Suara MUI yang keberatan dengan rencana kedatangan artis tersebut, menjadi bahan ejekan. Sungguh begitu sukses setan dalam menipu manusia, sehingga perbuatan-perbuatan bejat dipandang indah; sebaliknya perbuatan baik malah dipandang jahat.

”Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (QS an-Nahl: 63).
Mudah-mudahan segala macam musibah yang menimpa kita dan saudara-saudara kita mampu melecut kita semua untuk sadar diri dan mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Allah SWT senantiasa membukakan pintu taubat-Nya untuk kita semua. Dunia ini hanyalah kehidupan yang penuh dengan tipuan dan ujian. Akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Banyak manusia meratapi bencana fisik, tapi mengabaikan bencana iman berupa meluasnya kekufuran. Kita wajib menolong saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, semampu kita. Pada saat yang sama, kita berdoa, mudah-mudahan Allah masih mengasihani kita semua, menunda azab atau hukumannya, dan memberikan kesempatan kepada kita untuk berbenah dan memperbaiki diri. Amin.

[Depok, 3 Oktober 2009/www.hidayatullah.com] Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta FM dan situs www.hidayatullah.com