Menurut uraian Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Ad Daulah Al-Islamiyah (1953), pada saat Perang Dunia I berakhir (1918), wilayah yang ada di tangan Khilafah Utsmaniyah hanya negeri Turki saja. Itupun sudah dimasuki oleh Sekutu.
Menurut uraian Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Ad Daulah Al-Islamiyah (1953), pada saat Perang Dunia I berakhir (1918), wilayah yang ada di tangan Khilafah Utsmaniyah hanya negeri Turki saja. Itupun sudah dimasuki oleh Sekutu. Inggris misalnya menduduki selat Dardanel dan selat Bosporus, Perancis menduduki sebagian kota Istambul, dan Italia menduduki jalur kereta api di Turki. Pada saat itu Khalifahnya adalah Wahidudin yang berkuasa di bawah tekanan
dan kendali Sekutu. Pada pertengahan tahun 1919 keadaan mulai berubah tatkala muncul konflik intern di antara Sekutu. Mereka berselisih untuk memperebutkan ghanimah dan berbagai posisi strategis dalam kemiliteran dan hak-hak khusus ekonomi. Keadaan ini menimbulkan harapan baru bagi rakyat Turki untuk menyusun gerakan perlawanan terhadap Sekutu. Di Istambul terbentuk lebih dari 10 gerakan rahasia yang bertujuan mencuri senjata yang dimiliki musuh, lalu mengirimkannya kepada organisasi-organisasi rahasia di dalam negeri Turki. Berbagai organisasi ini kemudian berhimpun dalam satu gerakan yang dipimpin oleh Musthofa Kamal. Musthofa Kamal melakukan gerakan untuk melawan dan mengusir Sekutu serta melawan tentara Khalifah jika mereka merintangi Musthofa Kamal. Dia memperoleh keberhasilan besar dalam usahanya ini. Setelah kemenangannya ini, Konferensi dan tokoh-tokohnya berpindah ke
Ankara dan menjadikan Ankara sebagai pusat kegiatan mereka. Mereka lalu mengadakan rapat di Ankara dan mengusulkan agar sidang-sidang parlemen dilaksananakan di Istambul dan agar Konferensi dibubarkan setelah para anggotanya menjadi wakil-wakil rakyat yang resmi dalam parlemen yang baru. Namun Musthafa Kamal menolak dua usulan ini dengan keras, meskipun dia akhirnya gagal meyakinkan mereka agar tetap mengadakan sidang-sidangnya di Ankara. Para anggota parlemen ini kemudian pergi ke Ibukota (Istambul) dan menyatakan loyalitas mereka kepada Khalifah. Peristiwa ini terjadi pada Januari 1920 (An Nabhani, 1953).Maka dari itu, Sekutu menganggap Piagam Nasional Turki ini adalah puncak
kemenangan mereka. Setelah penyebarluasan Piagam Nasional ini kepada khalayak, mereka membiarkan orang-orang Turki untuk melakukan perlawanan, sementara mereka menarik kekuatan pasukannnya di segala tempat. Orang-orang Turki kemudian melakukan perlawanan, namun perlawanan itu berubah sasaran. Yang semula perlawanan kepada musuh (Sekutu), akhirnya menjadi revolusi untuk menggulingkan Sultan, dikarenakan provokasi Musthofa Kamal terhadap rakyat untuk membenci Sultan. 
Berlangsunglah kemudian pemilihan ini. Para anggotanya yang baru kemudian berkumpul dan menamakan dirinya dengan Dewan Nasional Raya (Al Jam'iyah Al Wathoniyah Al Kubro). Mereka menganggap Dewan inilah yang merupakan pemerintahan yang sah. Mereka lalu memilih Musthofa Kamal menjadi ketua Dewan.

Bila kita ikuti langkah-langkah Musthofa Kamal ini, akan nampak jelas bahwa persetujuan ini sesungguhnya adalah imbalan yang diberikan Sekutu terhadap tindakan Musthofa Kamal untuk menghancurkan pemerintahan Islam (Khilafah). Karena itulah, ketika dia berbicara tentang masa depan Turki di hadapan Dewan Nasional setelah kemenangannya dalam peperangan tersebut, dia berkata :
Musthofa Kamal di sini mengumumkan, bahwa ia menginginkan kemerdekaan
Turki sebagai bangsa Turki, bukan sebagai umat Islam. Kemudian beberapa anggota Dewan Nasional Raya dan para tokoh politik meminta kepada Musthofa Kamal untuk menjelaskan pendapatnya tentang bentuk pemerintahan di Turki yang baru, sebab tidak mungkin Turki memiliki dua pemerintahan seperti yang ada saat itu: pemerintahan sementara di Ankara, dan pemerintahan resmi di Istambul yang dipimpin oleh Khalifah. Namun Musthofa Kamal tidak menjawab dan menyembunyikan apa yang menjadi maksudnya.Meskipun demikian, dia tidak berani menyerang Khilafah. Sebab, hal ini akan
dapat menyinggung perasaan Islami dalam lubuk hati seluruh rakyat Turki. Karena itu dia tidak menyinggung-nyinggung Khilafah dan hanya mengusulkan pemisahan antara sulthonah (kekuasaan Khalifah) dengan Khilafah. Anggota Dewan tidak menyetujui usulan ini, lalu mereka membentuk Panitia Urusan Undang-Undang untuk mengkajinya. 
Namun Musthofa Kamal tetap bersikeras menginginkan pemisahan agama dari negara dengan memisahkan sulthonah dari Khilafah. Ini sebenarnya adalah apa yang diminta oleh Sekutu dari Musthofa Kamal. Karena itu tatkala Musthofa Kamal mendengar pembahasan Panitia, dia sangat geram dan menginterupsi sidang panitia seraya berteriak dengan lagak seorang diktator :
Kemudian Musthofa Kamal mengundang rapat anggota Dewan Nasional untuk
segera membicarakan usulannya. Sebagian besar anggota Dewan tidak menyetujui usulan Musthofa Kamal. Kawan-kawan Musthofa Kamal kemudian meminta voting dengan cara mengangkat tangan sekali saja. Anggota yang lain mengatakan, "Jika kita akan mengadakan voting, hendaklah dengan menyebutkan nama." Musthofa Kamal menolak usulan ini kemudian berteriak seraya mengancam, "Saya percaya Dewan akan menerima usulan saya dengan suara bulat. Cukuplah pengambilan suara dengan mengangkat tangan."Meskipun demikian sebagian besar anggota Dewan Nasional sebenarnya
tetap menentang Musthofa Kamal setelah pengumuman pemisahan sulthonah dari Khilafah. Musthofa Kamal kemudian berupaya untuk mengumumkan bentuk pemerintahan yang diinginkannya, yaitu republik Turki dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presidennya. Dia kemudian membuat rekayasa politik untuk mewujudkan tujuannya ini. Direkayasalah kemudian krisis-krisis yang menyulitkan yang berujung pada permintaan mundur kepada para menteri yang menjalankan kekuasaan. Permintaan ini diajukan kepada Dewan Nasional Raya Turki, sementara Dewan belum mendapatkan pihak pengganti yang akan menjalankan kekuasaan itu. Setelah krisis yang bertubi-tubi akhirnya diusulkan oleh Dewan agar Musthofa Kamal-lah yang memegang kekuasaan kabinet tersebut.Musthofa Kamal akhirnya menyadari bahwa mayoritas rakyat membencinya
dan menuduhnya sebagai orang zindiq, kafir, dan atheis. Karena itu, kemudian ia melancarkan propaganda untuk menentang Khalifah dan Khilafah serta memprovokasi Dewan Nasional sehingga akhirnya mereka mengeluarkan sebuah undang-undang yang memutuskan bahwa setiap penentangan terhadap republik dan setiap dukungan kepada Khalifah adalah sebuah pengkhianatan yang akan diganjar dengan hukuman mati. Dalam kondisi seperti itu para pendukung Musthofa Kamal yang moderat ada
yang memintanya menjadi Khalifah, karena mereka takut terhadap hancurnya Khilafah. Musthofa Kamal menolaknya. Kemudian datang pula dua utusan dari Mesir dan India yang memintanya menjadi Khalifah bagi kaum muslimin. Namun Musthofa Kamal tetap menolaknya. Dia terus melancarkan propaganda untuk menimbulkan kebencian terhadap Khalifah. Bahkan sampai-sampai Khalifah dituduh sebagai sekutu asing. Akibatnya, meluaslah kebencian terhadapnya. Di tengah suasana yang demikian, pada tanggal 3 Maret 1924 Musthofa Kamal berbicara di hadapan Dewan Nasional mengenai rencananya untuk menghapuskan Khilafah, mengusir Khalifah, dan memisahkan agama dari negara. Dengan gaya seorang diktator dia menetapkan rencananya ini di bawah
persetujuan Dewan Nasional tanpa diskusi atau tanya jawab apa pun. Kemudian dia mengirim utusan kepada penguasa Istambul untuk mengusir Khalifah Abdul Majid keluar dari Turki sebelum datangnya fajar keesokan harinya. Penguasa Istambul itu bersama beberapa pengawal kemudian mendatangi istana Khalifah di tengah malam, lalu memaksanya naik mobil yang kemudian membawanya keluar batas wilayah Turki. Khalifah tidak diijinkan membawa barang apa pun kecuali sebuah koper pakaian dan secuil uang (An Nabhani, 1953).
Dengan demikian, Musthofa Kamal telah menghancurkan Daulah Islamiyah dan peraturan hidup Islam, kemudian mendirikan negara dan sistem Kapitalis yang kafir sebagai gantinya. Lewat Musthofa Kamal terwujudlah mimpi orang-orang kafir sejak Perang Salib, yaitu menghancurkan Khilafah Islamiyah.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar