Selasa, 28 November 2006
Ahmad Syafii Maarif “menelikung” pemikiran Buya HAMKA, seolah-olah beliau seorang yang rindu dunia untuk didiami siapa saja meski “beragama atau tidak”
Oleh: Irena Handono *
Ahmad Syafii Maarif, bekas ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menerima pesan singkat dari jenderal polisi yang bertugas di Poso. Sang jenderal minta Syafii membantunya memahami ayat 62 surat Al-Baqarah. Jenderal itu berharap makna ayat itu akan membantunya mengurai konflik yang terjadi di Poso. Tulisan yang dimaksud berjudul, “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” di Harian Republika, (Selasa 21 November 2006).
Di bawah ini kutipanya;
“ Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.”
Dalam tulisan itu, Syafii juga mengatakan jika yang dimaksud Hamka itu adalah masalah toleransi. Padahal bukan. Menurut saya, buku tafsir itu dibacanya dengan fikiran yang “berkabut”. Kesimpulannya, hal-hal yang benar dari Hamka tertutup dan memunculkan pemikiran Syafii Maarif sendiri.
“Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”
Menurut Syafii Maarif, Hamka adalah seorang mufassir yang berani. Saya setuju dan benar sekali. Bahkan beliau sudah menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tepat dan gamblang, termasuk surat Al-Baqarah ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 serta Ali Imran ayat 85 yang terkait dengan ayat 62 surat Al- Baqarah.
Tafsir Hamka terhadap surat Al-Baqarah ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shaleh, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita "
Surat AlMaidah ayat 69: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabiun, dan Nashara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan diapun mengamalkan amal yang shaleh, maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Merujuk pada Tafsir Al Azhar. karya Prof.DR Hamka, seharusnya Syafii Maarif bisa menjawab pertanyaan sang jenderal polisi dengan tegas dan benar. Sebab pada buku juz 1 halaman 212, Hamka menyatakan sebagai berikut :
"Di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu. Bahwa semua mereka tidak merasakan ketakutan dan dukacita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat dan diikuti dengan amal yang saleh. Dan keempat-empat golongan itu lalu beriman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka."
Jadi, penafsiran Prof DR Hamka, bukan tentang toleransi antar ummat beragama, tapi yang paling pokok adalah keempat golongan itu hendaknya beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itulah syarat mutlak untuk mendapatkan ganjaran disisi Tuhan mereka. Mestinya penafsiran yang gamblang ini jangan lagi diberi bayang-bayang kabut, karena tidak ada ayat Al Quran yang saling bertentangan, tapi justru saling melengkapi.
Sebaliknya, Syafii Maarif "menjejalkan" fikirannya dengan menggambarkan Hamka sebagai seorang yang rindu akan dunia yang aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing Jadi, seolah-olah Hamka menyatakan beragama atau tidak bukan masalah, toh semua agama sama.
Saran saya, supaya tidak terkesan “menelikung” pemikiran Prof. Hamka, hendaknya Syafii Maarif juga mengutip pemikiran beliau pada halaman 214 dan 215 yaitu, "kerapkali menjadi kemuskilan bagi orang yang membaca ayat ini, karena disebut yang pertama sekali ialah orang-oang yang beriman, kemudiannya baru disusul oleh Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Setelah itu disebutkan bahwa semuanya akan diberikan ganjaran oleh Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu beramal yang saleh. Mengapa orang yang beriman disyaratkan beriman lagi ?"
Lebih jauh Hamka berpendapat, "setengah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud disini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah. Tetapi pengakuan tadi baru pengakuan saja,belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan rukun Islam yang lima perkara, maka iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan, maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nashrani dan Shabiin. Barulah keempat itu terkumpul menjadi satu, apabila semuanya memperbaharui iman, kembali kapada Allah dan Hari Akhirat, serta mengikutinya dengan perbuatan dan pelaksanaan."
Itulah syarat mutlak sehingga keempat golongan itu menjadi satu dan padu yaitu beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal shaleh. Adapun yang tidak dikutip oleh Syafii Maarif sehingga pemikirannya berkabut adalah kalimat Prof. Hamka pada halaman 215 yaitu, "Apabila telah bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, maka pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran."
Ciri yang khas dari titik kebenaran itu adalah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang SATU ; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam ! Maka dengan demikian orang yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya. Inilah sebenarnya pemikiran Islami dari Prof. DR. Hamka yang ditelikung oleh Syafii Maarif, yang mengaku sebagai ‘sang murid.’
Di sisi lain, pernahkah terfikirkan oleh Syafii Maarif bahwa keyakinan Kristiani menyatakan Allah dalam Al Quran bukan Tuhan dalam Bible (Lihat buku .The Islamic Invasion, karya Robert Morey, edisi Bahasa Indonesia, Halaman 62, yang isinya sebagai berikut;
"Ketika kita bandingkan sifat-sifat Tuhan Al Kitab (Bible) dengan sifat-sifat Tuhannya Al Quran, muncul dengan jelas, bahwa keduanya bukanlah dari Tuhan yang sama!" Bahkan pada halaman yang sama tertulis bahwa : "Latar belakang sejarah mengenai asal-usul dan makna kata Arab "Allah" bukanlah Tuhan yang menjadi sesembahan orang Yahudi dan orang Kristen. Allah hanyalah suatu berhala Dewa Bulan bangsa Arab yang dimodifikasi dan ditingkatkan maknanya."
Pada halaman yang sama Robert Morey mengutip pendapat Doktor Samuel Schlorff, yang menyatakan dalam tulisannya mengenai perbedaan mendasar antara Allah dalam Al Quran dan Tuhan dalam Al Kitab (Bible) sebagai berikut; " Saya percaya bahwa kunci masalahnya adalah pertanyaan mengenai hakekat Tuhan dan bagaimana Tuhan berhubungan dengan ciptaannya ; Islam dan Kristen, meskipun mempunyai kesamaan secara formal, sesungguhnya sangat jauh berbeda dalam masalah tersebut."
Nah marilah kita merenung kembali, samakah semua agama, samakah semua kitab suci? Seharusnya Ahmad Syafii Maarif –apalagi dia mantan Ketua PP Muhahammadiyah-- meyakini bahwa; "satu-satunya agama di sisi Allah hanyalah Islam." Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah pendiri ‘Irena Center’ dan Ketua Umum Gerakan Muslimat Indonesia (GMI)
Sumber : www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar