Sabtu, 27 Desember 2008
80 Tahun yang lalu
Menurut uraian Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Ad Daulah Al-Islamiyah (1953), pada saat Perang Dunia I berakhir (1918), wilayah yang ada di tangan Khilafah Utsmaniyah hanya negeri Turki saja. Itupun sudah dimasuki oleh Sekutu.
Menurut uraian Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Ad Daulah Al-Islamiyah (1953), pada saat Perang Dunia I berakhir (1918), wilayah yang ada di tangan Khilafah Utsmaniyah hanya negeri Turki saja. Itupun sudah dimasuki oleh Sekutu. Inggris misalnya menduduki selat Dardanel dan selat Bosporus, Perancis menduduki sebagian kota Istambul, dan Italia menduduki jalur kereta api di Turki.
Pada saat itu Khalifahnya adalah Wahidudin yang berkuasa di bawah tekanan dan kendali Sekutu. Pada pertengahan tahun 1919 keadaan mulai berubah tatkala muncul konflik intern di antara Sekutu. Mereka berselisih untuk memperebutkan ghanimah dan berbagai posisi strategis dalam kemiliteran dan hak-hak khusus ekonomi. Keadaan ini menimbulkan harapan baru bagi rakyat Turki untuk menyusun gerakan perlawanan terhadap Sekutu. Di Istambul terbentuk lebih dari 10 gerakan rahasia yang bertujuan mencuri senjata yang dimiliki musuh, lalu mengirimkannya kepada organisasi-organisasi rahasia di dalam negeri Turki. Berbagai organisasi ini kemudian berhimpun dalam satu gerakan yang dipimpin oleh Musthofa Kamal. Musthofa Kamal melakukan gerakan untuk melawan dan mengusir Sekutu serta melawan tentara Khalifah jika mereka merintangi Musthofa Kamal. Dia memperoleh keberhasilan besar dalam usahanya ini.
Kemudia Musthofa Kamal mengadakan sebuah Konferensi Nasional (Mu`tamar Wathoni) di Sewastopoli yang membahas cara dan sarana untuk memerdekakan Turki. Konferensi ini menetapkan beberapa keputusan, di antaranya adalah membentuk Badan Pekerja (Lajnah Tanfidiyah), memilih Musthofa Kamal sebagai ketuanya, serta mengirimkan peringatan kepada Sultan (Khalifah) untuk memberhentikan Perdana Menteri Farid dan mengadakan pemilihan anggota parlemen yang baru. Sultan yang berada di bawah tekanan kemudian menuruti permintaan untuk memberhentikan Perdana Menteri dan melangsungkan pemilihan untuk anggota parlemen. Tokoh-tokoh Konferensi --yang menampakkan diri sebagai kelompok yang akan menyelamatkan negeri Turki-- berhasil mendapatkan suara mayoritas di parlemen yang baru.
Setelah kemenangannya ini, Konferensi dan tokoh-tokohnya berpindah ke Ankara dan menjadikan Ankara sebagai pusat kegiatan mereka. Mereka lalu mengadakan rapat di Ankara dan mengusulkan agar sidang-sidang parlemen dilaksananakan di Istambul dan agar Konferensi dibubarkan setelah para anggotanya menjadi wakil-wakil rakyat yang resmi dalam parlemen yang baru. Namun Musthafa Kamal menolak dua usulan ini dengan keras, meskipun dia akhirnya gagal meyakinkan mereka agar tetap mengadakan sidang-sidangnya di Ankara. Para anggota parlemen ini kemudian pergi ke Ibukota (Istambul) dan menyatakan loyalitas mereka kepada Khalifah. Peristiwa ini terjadi pada Januari 1920 (An Nabhani, 1953).
Setelah itu Sultan dan orang-orang Inggris yang ada di belakangnya berusaha mendiktekan kehendaknya kepada para anggota parlemen tersebut. Mereka menolak. Ketika tekanan Sekutu semakin kuat, para anggota parlemen itu lalu menyebarluaskan Piagam Nasional (Al Mitsaq Al Wathoni) yang mereka tetapkan pada konferensi Sewastopoli, yaitu piagam yang memuat syarat-syarat dasar bagi penerimaan perdamaian antara Turki dan Sekutu. Syarat yang terpenting adalah bahwa Turki merupakan "sebuah negeri yang bebas dan berdiri sendiri yang berada dalam suatu wilayah yang terbatas dan tetap." Tak pelak lagi, Sekutu --terutama Inggris-- merasa gembira terhadap syarat ini, karena justru inilah yang ingin mereka wujudkan. Dalam pandangan Sekutu, andaikata Irak, Suriah, Palestina, dan Mesir masing-masing memiliki Piagam Nasional seperti itu, maka mereka akan dapat memecah belah Daulah Utsmaniyah menjadi beberapa negara, sehingga negara ini akan lemah dan mudah untuk dihancurkan.
Maka dari itu, Sekutu menganggap Piagam Nasional Turki ini adalah puncak kemenangan mereka. Setelah penyebarluasan Piagam Nasional ini kepada khalayak, mereka membiarkan orang-orang Turki untuk melakukan perlawanan, sementara mereka menarik kekuatan pasukannnya di segala tempat. Orang-orang Turki kemudian melakukan perlawanan, namun perlawanan itu berubah sasaran. Yang semula perlawanan kepada musuh (Sekutu), akhirnya menjadi revolusi untuk menggulingkan Sultan, dikarenakan provokasi Musthofa Kamal terhadap rakyat untuk membenci Sultan.
Sultan kemudian menyiapkan pasukan untuk memadamkan perlawanan ini. Seluruh rakyat boleh dikatakan membela Sultan, kecuali orang-orang di Ankara yang menjadi pusat revolusi. Musthofa Kamal yang terkepung di Ankara memperhebat provokasinya terhadap rakyat. Dia menyebarkan isu bahwa Inggris telah menduduki ibukota Turki, menangkapi rakyat, menutup gedung parlemen dengan paksa, dan bahwa Sultan mendukung tindakan Inggris ini. Keadaan pun berubah. Rakyat kemudian berpaling dari Sultan dan berpihak kepada orang-orang di Ankara. Banyak pasukan Khalifah yang kemudian bergabung dengan pasukan Musthafa Kamal. Kedudukan Musthafa Kamal akhirnya menjadi kuat sehingga dia kemudian mengajak rakyat untuk menyelenggarakan pemilu untuk membentuk Dewan Nasional (Jam'iyah Wathoniyah).
Berlangsunglah kemudian pemilihan ini. Para anggotanya yang baru kemudian berkumpul dan menamakan dirinya dengan Dewan Nasional Raya (Al Jam'iyah Al Wathoniyah Al Kubro). Mereka menganggap Dewan inilah yang merupakan pemerintahan yang sah. Mereka lalu memilih Musthofa Kamal menjadi ketua Dewan.
Musthofa Kamal kemudian menumpas sisa-sisa tentara Khalifah dan menghentikan perang saudara. Kemudian dia memerangi Yunani --yang menduduki Izmir dan sebagian kawasan pantai Turki-- dan berhasil mengalahkannya pada tahun 1921. Pada bulan September 1921 Musthofa Kamal mengirimkan utusan kepada Ismet (Wakil Menteri Urusan Perang) untuk menemui Harrington (Wakil Sekutu) guna mengadakan kesepakatan secara lebih terperinci. Dalam hal ini Sekutu setuju untuk mengusir orang-orang Yunani dari daerah Trys dan setuju untuk mengusir diri mereka sendiri dari Konstantinopel dan Turki seluruhnya.
Bila kita ikuti langkah-langkah Musthofa Kamal ini, akan nampak jelas bahwa persetujuan ini sesungguhnya adalah imbalan yang diberikan Sekutu terhadap tindakan Musthofa Kamal untuk menghancurkan pemerintahan Islam (Khilafah). Karena itulah, ketika dia berbicara tentang masa depan Turki di hadapan Dewan Nasional setelah kemenangannya dalam peperangan tersebut, dia berkata :
"Saya tidak percaya dengan negara Islam, bahkan tidak percaya dengan bangsa Utsmaniyah. Kita masing-masing harus meyakini apa yang menjadi pendapat kita. Adapun pemerintah (di Ankara) harus mengikuti garis politik yang tetap, terencana, dan didasarkan pada fakta-fakta dengan satu tujuan saja, yaitu memelihara eksistensi dan kemerdekaan negeri Turki dalam suatu wilayah yang terbatas. Tidak boleh ada lagi perasaan atau emosi yang mempengaruhi politik kita. Buanglah mimpi-mimpi dan khayalan-khayalan itu. Sungguh kita telah membayar mahal untuk masa lalu kita!"
Musthofa Kamal di sini mengumumkan, bahwa ia menginginkan kemerdekaan Turki sebagai bangsa Turki, bukan sebagai umat Islam. Kemudian beberapa anggota Dewan Nasional Raya dan para tokoh politik meminta kepada Musthofa Kamal untuk menjelaskan pendapatnya tentang bentuk pemerintahan di Turki yang baru, sebab tidak mungkin Turki memiliki dua pemerintahan seperti yang ada saat itu: pemerintahan sementara di Ankara, dan pemerintahan resmi di Istambul yang dipimpin oleh Khalifah. Namun Musthofa Kamal tidak menjawab dan menyembunyikan apa yang menjadi maksudnya.
Dia kemudian merekayasa opini umum yang menyudutkan Khalifah Wahidudin. Disebarluaskan bahwa Khalifah adalah teman dekat Inggris dan Yunani, sehingga berkobarlah kebencian rakyat kepada Khalifah. Dalam situasi seperti ini dia mengumpulkan Dewan Nasional untuk menjelaskan masalah bentuk pemerintahan. Saat itu dia tahu bahwa dia mampu untuk meyakinkan para anggota Dewan untuk mencopot Wahidudin dan menghapuskan kekuasaannya.
Meskipun demikian, dia tidak berani menyerang Khilafah. Sebab, hal ini akan dapat menyinggung perasaan Islami dalam lubuk hati seluruh rakyat Turki. Karena itu dia tidak menyinggung-nyinggung Khilafah dan hanya mengusulkan pemisahan antara sulthonah (kekuasaan Khalifah) dengan Khilafah. Anggota Dewan tidak menyetujui usulan ini, lalu mereka membentuk Panitia Urusan Undang-Undang untuk mengkajinya.
Keesokan harinya tatkala Panitia mengkaji masalah ini, Musthofa Kamal ikut hadir dan mengawasi jalannya rapat. Panitia ini beranggotakan para ulama dan pengacara yang kemudian mempertimbangkan usulan ini berdasarkan nash-nash syara'. Mereka menganggap usulan itu menyalahi syara', sebab di dalam Islam memang tidak ada kekuasaan agama dan kekuasaan dunia. Jadi Sulthonah dan Khilafah adalah satu kesatuan, tidak ada satu segi yang namanya agama dan segi lain yang namanya negara. Yang ada adalah peraturan Islam (nizhamul Islam) di mana masalah negara adalah bagian dari peraturan ini. Karena itu, panitia menolak usulan Musthofa Kamal.
Namun Musthofa Kamal tetap bersikeras menginginkan pemisahan agama dari negara dengan memisahkan sulthonah dari Khilafah. Ini sebenarnya adalah apa yang diminta oleh Sekutu dari Musthofa Kamal. Karena itu tatkala Musthofa Kamal mendengar pembahasan Panitia, dia sangat geram dan menginterupsi sidang panitia seraya berteriak dengan lagak seorang diktator :
"Wahai tuan-tuan, Sultan Utsmani telah merampas kedaulatan milik rakyat dengan kekuatan. Maka dengan kekuatan pula rakyat akan menarik kembali kedaulatannya dari Sultan. Kekuasaan Khalifah (sulthonah) wajib dipisahkan dan dihapuskan dari Khilafah. Anda setuju atau tidak, inilah yang akan terjadi. Apa pun yang terjadi, sebagian kepala kalian pasti akan jatuh terpancung selama Anda tidak setuju."
Kemudian Musthofa Kamal mengundang rapat anggota Dewan Nasional untuk segera membicarakan usulannya. Sebagian besar anggota Dewan tidak menyetujui usulan Musthofa Kamal. Kawan-kawan Musthofa Kamal kemudian meminta voting dengan cara mengangkat tangan sekali saja. Anggota yang lain mengatakan, "Jika kita akan mengadakan voting, hendaklah dengan menyebutkan nama." Musthofa Kamal menolak usulan ini kemudian berteriak seraya mengancam, "Saya percaya Dewan akan menerima usulan saya dengan suara bulat. Cukuplah pengambilan suara dengan mengangkat tangan."
Ketika usulan disampaikan dalam voting, tak ada yang mengangkat tangan kecuali beberapa gelintir saja. Akan tetapi diumumkan kemudian bahwa Dewan menyetujui usulan secara aklamasi. Para anggota Dewan menjadi heboh dan sebagian mereka berdiri di atas kursinya seraya berteriak menghujat, "Ini tidak benar dan kami tidak setuju !" Namun para pendukung Musthofa Kamal membalasnya dengan teriakan yang menenggelamkan protes itu dan akhirnya terjadilah saling caci-maki di antara mereka. Namun ketua sidang sekali lagi mengumumkan bahwa Dewan menyetujui secara bulat penghapusan sulthonah. Kemudian sidang bubar. Ketika Khalifah Wahidudin mengetahui hal itu dia lalu melarikan diri. Setelah itu dia digantikan oleh anak saudara lelakinya, yaitu Abdul Majid sebagai Khalifah kaum muslimin, yang tidak lagi memiliki kekuasaan apa-apa.
Meskipun demikian sebagian besar anggota Dewan Nasional sebenarnya tetap menentang Musthofa Kamal setelah pengumuman pemisahan sulthonah dari Khilafah. Musthofa Kamal kemudian berupaya untuk mengumumkan bentuk pemerintahan yang diinginkannya, yaitu republik Turki dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presidennya. Dia kemudian membuat rekayasa politik untuk mewujudkan tujuannya ini. Direkayasalah kemudian krisis-krisis yang menyulitkan yang berujung pada permintaan mundur kepada para menteri yang menjalankan kekuasaan. Permintaan ini diajukan kepada Dewan Nasional Raya Turki, sementara Dewan belum mendapatkan pihak pengganti yang akan menjalankan kekuasaan itu. Setelah krisis yang bertubi-tubi akhirnya diusulkan oleh Dewan agar Musthofa Kamal-lah yang memegang kekuasaan kabinet tersebut.
Pada saat itulah, dia kemudian mengumumkan Turki menjadi republik dan Musthofa Kamal dipilih oleh Dewan Nasional menjadi presidennya yang pertama. Namun masalahnya tidak semudah yang diduga Musthofa Kamal. Bangsa Turki yang muslim menganggap Musthofa Kamal telah menyimpang dari Islam dan menghancurkan Islam. Mayoritas rakyat Turki menganggap bahwa para penguasa Ankara yang baru telah murtad. Akhirnya masyarakat kembali mendukung Sultan Abdul Majid dan mencoba mengembalikan kekuasan kepadanya untuk menumpas orang-orang murtad tersebut (An Nabhani, 1953).
Musthofa Kamal akhirnya menyadari bahwa mayoritas rakyat membencinya dan menuduhnya sebagai orang zindiq, kafir, dan atheis. Karena itu, kemudian ia melancarkan propaganda untuk menentang Khalifah dan Khilafah serta memprovokasi Dewan Nasional sehingga akhirnya mereka mengeluarkan sebuah undang-undang yang memutuskan bahwa setiap penentangan terhadap republik dan setiap dukungan kepada Khalifah adalah sebuah pengkhianatan yang akan diganjar dengan hukuman mati.
Selain itu Musthofa Kamal juga melancarkan teror-teror untuk kepentingannya. Seorang anggota Dewan yang menyerukan keharusan Khilafah telah dibunuh oleh orang suruhan Musthofa Kamal ketika ia pulang ke rumah setelah mengikuti sidang di Dewan Nasional. Seorang anggota Dewan yang lain menyampaikan pidato yang membela Islam yang dihadiri oleh Musthofa Kamal. Musthofa Kamal kemudian mengancam anggota tersebut dengan hukuman gantung bila mengucapkan pidato seperti itu lagi.
Dalam kondisi seperti itu para pendukung Musthofa Kamal yang moderat ada yang memintanya menjadi Khalifah, karena mereka takut terhadap hancurnya Khilafah. Musthofa Kamal menolaknya. Kemudian datang pula dua utusan dari Mesir dan India yang memintanya menjadi Khalifah bagi kaum muslimin. Namun Musthofa Kamal tetap menolaknya. Dia terus melancarkan propaganda untuk menimbulkan kebencian terhadap Khalifah. Bahkan sampai-sampai Khalifah dituduh sebagai sekutu asing. Akibatnya, meluaslah kebencian terhadapnya. Di tengah suasana yang demikian, pada tanggal 3 Maret 1924 Musthofa Kamal berbicara di hadapan Dewan Nasional mengenai rencananya untuk menghapuskan Khilafah, mengusir Khalifah, dan memisahkan agama dari negara.
Pada saat itu dia berkata, "Dengan harga berapa kita wajib menjaga republik yang terancam dan berdiri di atas dasar-dasar ilmiah yang kokoh? Khalifah dan keturunan Bani Utsman harus diusir. Pengadilan-pengadilan agama yang kuno dan segenap undang-undangnya wajib digantikan dengan pengadilan dan undang-undang modern. Madrasah-madrasah para agamawan (rijaluddin) harus digantikan dengan madrasah-madrasah negeri yang tidak mempelajari agama."
Dengan gaya seorang diktator dia menetapkan rencananya ini di bawah persetujuan Dewan Nasional tanpa diskusi atau tanya jawab apa pun. Kemudian dia mengirim utusan kepada penguasa Istambul untuk mengusir Khalifah Abdul Majid keluar dari Turki sebelum datangnya fajar keesokan harinya. Penguasa Istambul itu bersama beberapa pengawal kemudian mendatangi istana Khalifah di tengah malam, lalu memaksanya naik mobil yang kemudian membawanya keluar batas wilayah Turki. Khalifah tidak diijinkan membawa barang apa pun kecuali sebuah koper pakaian dan secuil uang (An Nabhani, 1953).
Dengan demikian, Musthofa Kamal telah menghancurkan Daulah Islamiyah dan peraturan hidup Islam, kemudian mendirikan negara dan sistem Kapitalis yang kafir sebagai gantinya. Lewat Musthofa Kamal terwujudlah mimpi orang-orang kafir sejak Perang Salib, yaitu menghancurkan Khilafah Islamiyah.
Wassalam
Selasa, 02 Desember 2008
sakti
Cara negatif ini misalnya pergi ke dukun minta bantuan jin, tuyul dan sebangsanya. .. biasanya sukses yang didapat lewat cara ini memang terbukti instan...tapi jangan lupa, selalu ada persembahan besar yang harus ditanggung oleh pencari sukses jalur negatif ini. Ada akad kredit antara pencari sukses dengan dukun beserta makhluk gaibnya itu, dan biasanya akad kredit semacam ini "bunganya" sangat mencekik leher beneran...hehehe. .. Sebaiknya Anda hindari cara mencari sukses lewat jalur negatif ini. Pasti sangat merugikan Anda pada sesi akhirnya!
Terus cara positifnya bagaimana? Gampang saja jawabnya: Anda harus SAKTI dulu, baru bisa sukses! Waduh...harus SAKTI dulu baru bisa sukses? Iyaa... Wah, kan nggak gampang Pak Nano untuk bisa menjadi orang yang SAKTI... Saya kan beda dengan Pak Nano. Iya memang nggak gampang...butuh usaha keras dan pantang menyerah untuk menjadi SAKTI! Lha kalau mau cara gampang dan instan untuk bisa sukses? Hmm...NGGAK ADA tuh. Bahkan cara meraih sukses yang negatif saja juga nggak gampang, tetap ada usaha keras dan resiko sangat besar di sana.
Nah, untuk bisa sukses dengan lebih dulu menjadi orang SAKTI justru jauh lebih mudah dan nggak beresiko apapun. Paling banter resikonya adalah gagal dan nggak sukses saja, akibat Anda tidak berhasil melakukan cara-cara untuk menjadi orang SAKTI.
Baiklah, saya beritahukan, bagaimana caranya untuk bisa sukses dengan menjadi orang SAKTI lebih dulu. Coba saja Anda menyimaknya di bawah ini:
Pertama, Anda harus Semangat! Bersemangatlah dengan tujuan hidup Anda sendiri. Semangatlah saat Anda mengimpikan sukses Anda. Semangatlah saat Anda merancang impian sukses Anda. Bersemangatlah di setiap detik jantung Anda berdetak... selalu bersemangatlah di setiap hari... di setiap saat!
Kedua, Anda harus berani Ambil Resiko! Jika Anda berani untuk mengambil resiko apapun dalam upaya meraih impian sukses Anda, maka Anda sudah berada di jalur yang benar. Orang yang sudah terbukti sukses memang orang yang berani Ambil Resiko dalam hidupnya.
Ketiga, Anda harus Kreatif! Yaa, dengan berpikir Kreatif, maka tidak ada satupun hambatan yang bisa membuat Anda mundur ke belakang pada saat meraih impian sukses Anda. Kreatiflah dalam upaya meraih sukses Anda. Kreatif artinya, Anda selalu bisa memikirkan cara-cara lainnya, jika saja ada hambatan di tengah jalan Anda meraih sukses itu.
Keempat, Anda harus Tulus! Benar...Anda harus Tulus pada saat Anda memulai perjalanan sukses, apalagi sudah berada di rel perjalanan sukses Anda ini. Tulus lah pada diri Anda sendiri, sebelum anda Tulus kepada orang lain. Bersikap tulus-ikhlas pada diri sendiri ini artinya, Anda bisa menerima sepenuhnya potensi diri Anda. Kelebihan maupun kekurangan yang ada di dalam diri Anda...bisa sepenuhnya Anda pahami. Sehingga dengan demikian, Anda bisa lebih fokus pada kelebihan Anda di sepanjang perjalanan meraih sukses ini.
Kelima, Anda harus punya Integritas! Yaa...punya Integritas, berarti, apa yang Anda pikirkan, apa yang Anda ucapkan, dan apa yang Anda lakukan itu merupakan satu kesatuan yang serasi, seimbang, dan memiliki bobot positif yang sama. Integritas diri inilah yang membuat diri Anda bisa dipercaya oleh orang lain. Dan, jika Anda sudah bisa dipercaya sepenuhnya oleh orang lain, maka tentu saja sukses bisa dipastikan menjadi milik Anda.
Saya akan meringkas cara menjadi orang SAKTI ini untuk Anda, agar lebih mudah untuk dihafal kemudian dipahami dan akhirnya bisa Anda lakukan buat meraih sukses Anda. Perhatikanlah, SAKTI adalah: Semangat--Ambil Resiko--Kreatif--Tulus--Integritas.
Ok, semoga sekarang ini Anda sudah tahu caranya, bagaimana bisa menjadi orang SAKTI untuk meraih impian-impian sukses Anda. Saya berani menjamin, jika Anda sudah SAKTI, maka Anda PASTI SUKSES. Mau SUKSES...Harus SAKTI Dulu!
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Selasa, 25 November 2008
MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH
MEMAHAMI ISTILAH KHILAFAH DAN IMAMAH
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Istilah Khilafah dan Imamah sebetulnya sinonim, yang berarti sistem pemerintahan Islam. Namun oleh segelintir orang, kedua istilah itu dianggap berbeda pengertiannya. Ulil Abshar Abdalla, bekas Koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya, memandang ada perbedaan antara Khilafah dan Imamah, begitu juga istilah turunannya seperti imam dan khalifah. Ulil menyatakan, “Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum.” Dalil-dalil agama tentang wajibnya mengangkat imam, menurut Ulil, hanya menegaskan saja hukum sosial yang sudah berlaku berabad-abad. Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Dan pemimpin itu, kata Ulil, “Bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan lain-lainnya.” (www.harianbangsa.com).
Walhasil bagi Ulil, Imamah itu berarti kepemimpinan yang bersifat umum. Sedangkan, Khilafah, adalah kepemimpinan yang lebih khusus, yang kata Ulil, berdasarkan sejarah Islam bentuknya adalah kerajaan. Khilafah seperti ini, menurut Ulil, hanyalah suatu kebetulan sejarah (historical coincidence). Karena itu, sistem itu dapat diganti sesuai asas rasionalitas, yang bagi Ulil adalah aplikasi doktrin Ahlus Sunnah bahwa penentuan imam bukanlah berdasarkan teks agama (seperti pendapat golongan Syiah), melainkan berdasarkan ijtihad dan pilihan (ikhtiyar). Ujung-ujungnya, Ulil ingin menegaskan bahwa sistem republik (bukan kerajaan) saat ini yang berdasarkan demokrasi, adalah sudah final dan merupakan sistem paling ideal hingga saat ini. (www.harianbangsa.com)
Pengertian Khilafah dan Imamah
Coba, kita lihat pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :
الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
Mari kita lihat juga pendapat serupa dari Imam Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah hal. 190 :
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة
وإمامة والقائم به خليفة وإمام
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 8 hal. 418 menyatakan pendapat serupa :
الخلافة (أو الإمامة أو إمارة المؤمنين) أو أي نظام شوري يجمع بين مصالح الدنيا والآخرة كلها ذات مدلول واحد
Dhiya’uddin Ar-Rays dalam kitabnya An-Nazhariyat As-Siyasiyah Al-Islamiyah hal. 92 mengatakan :
يلاحظ أن الخلافة والإمامة الكبرى وإمارة المؤمنين ألفاظ مترادفة بمعنى واحد
Semua kutipan ulama di atas menyatakan bahwa istilah Imamah dan Khilafah (juga Imaratul Mukminin) maknanya sama, tidak berbeda. Persis seperti halnya kalau kita menyebut nama kitab suci kita. Boleh ia disebut Al-Qur`an, Al-Kitab, Al-Furqan, atau At-Tanzil. Walau berbeda-beda namanya, tapi hakikat pengertiannya tetap satu dan sama.
Kutipan-kutipan yang menunjukkan kesamaan makna Khilafah dan Imamah itu masih banyak sekali. Silakan cek pendapat yang sama dari Rasyid Ridha dalam kitabnya Al-Khilafah Aw Al-Imamah Al-‘Uzhma hal. 101, Prof. Dr. Ali As-Salus dalam kitabnya ‘Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah (terj.) hal. 16, Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Membentuk Negara Islam hal. 30, dan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Islam dan Politik Bernegara hal. 42-43.
Silakan cek juga pendapat para ulama bahasa Arab (ahli kamus) yang menyamakan arti Imamah dan Khilafah, misalnya Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha` hal. 64, 150, dan 151; juga Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu’jam Al-Wasith Juz 1 hal. 27 dan 251.
Jika Imamah dan Khilafah pengertiannya sama, demikian juga istilah imam dan khalifah. Keduanya sama-sama berarti pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, tidak berbeda. Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun yang telah dikutip di atas. Imam Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin Juz 10 hal. 49 menegaskan hal yang sama :
يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين
Namun, yah, kita harus maklum, nampaknya Ulil memang “harus” melakukan permainan kotor seperti itu, yang sesungguhnya amat jauh dari etika seorang intelektual yang seharusnya jujur dan obyektif. Demikianlah ulah agen Amerika yang sangat jahat, yaitu selalu berusaha menyesatkan umat Islam dari pemahaman yang sahih tentang Islam.
Mengapa Imamah dan Khilafah Semakna?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, atas dasar apa para ulama menyamakan pengertian Imamah dan Khilafah? Di sinilah Imam Taqiyuddin An-Nabhani memberi penjelasan yang gamblang dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 2. Imam An-Nabhani berkata,”Telah terdapat hadits-hadits shahih dengan dua kata ini [Khilafah dan Imamah] dengan makna yang satu. Tidak ada makna dari salah satu kedua kata itu yang menyalahi makna kata yang lain, dalam nash syariah mana pun, baik dalam Al-Qur`an maupun dalam As-Sunnah, sebab hanya dua itulah yang merupakan nash-nash syariah. Tidaklah wajib berpegang dengan kata ini, yaitu Khilafah atau Imamah, tapi yang wajib ialah berpegang dengan pengertiannya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2/13).
Jadi, Khilafah dan Imamah memiliki arti yang sama dikarenakan nash-nash syariah, khususnya hadits-hadits shahih, telah menggunakan dua kata itu, yaitu kata “imam” atau “khalifah” secara bergantian namun dengan pengertian yang sama. Sebagai contoh, terkadang Rasulullah SAW menggunakan kata “khalifah” seperti sabdanya :
إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
Namun kadang Rasulullah SAW menggunakan kata “imam” seperti sabdanya :
من بايع إمامًا فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ما استطاع ، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر
Kata “khalifah” dan “imam” dalam kedua hadits di atas mempunyai pengertian yang sama, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Islam (ar-ra`is al-a’la li ad-daulah al-islamiyah). (Lihat Rawwas Qal’ah Jie & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 64 & 151). Jika “khalifah” dan “imam” sama pengertiannya, maka sistem pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu “khilafah” dan “imamah”, juga sama maknanya. Tidak berbeda.
Antara Khilafah dan Imarah
Dalam hadits-hadits shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imarah, Qiyadah, atau Ri’asah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan,”Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri`asah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap-tiap pemimpin (amir).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2 hal.125).
Hadits tentang Imarah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
Dengan demikian, jelaslah, bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam. Tapi istilahnya Imamah seperti khayalan dan tipuan Ulil, melainkan Imarah. Imarah inilah yang bersifat umum, sehingga mencakup kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan sebagainya.
Jadi, kalau Ulil menganggap istilah “imam” berarti pemimpin dalam arti umum, bukan pemimpin yang khusus (yaitu pemimpin tertinggi negara Khilafah), berarti dia telah sengaja melakukan penyesatan dan pembodohan yang jahat. Dan semua kebohongan ini ternyata mempunyai tujuan yang sangat busuk, yaitu melegitimasi sistem demokrasi yang kufur saat ini, yang sesungguhnya sudah terbukti sangat bobrok dan gagal total. [ ]
Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, (www.saaid.net), 1987.
Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, (Jakarta : Penerbit Widjaya), 1956.
Al-Yusuf, Muslim, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, (www.saaid.net).
An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2, (Beirut : Darul Ummah), 2002.
Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo : Tanpa Penerbit), 1972.
As-Salus, Ali, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i (Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah), Penerjemah Asmi Salihan Zamakhsyari, (Jakarta : Gema Insani Press), 1997.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra), 2002
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8, (Maktabah Syamilah).
Qal’ah Jie, Rawwas, & Qunaibi, Hamid Shadiq, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun Nafa`is), 1988.
Jumat, 31 Oktober 2008
Sejarah Kutai Kertanegara
Patut disyukuri bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki latar belakang kebanggaan sejarah yang luar biasa yakni sebagai kerajaan tertua di Indonesia, dimana pada abad ke IV telah berdiri kerajaan bercorak Hindu India yang bernama Kerajaan Kutai Mulawarman atau lebih sering dikenal dengan Kerajaan Mulawarman.
Penafsiran para ahli sejarah menyimpulkan bahwa sesungguhnya Kerajaan Kutai Mulawarman adalah Kerajaan Kutai yang berdiri di Martapura, Muara Kaman sehingga sering disebut Kerajaan Martapura atau Martadipura. Kesimpulan tersebut berdasarkan catatan sejarah dari Cina dan India yang menyebut dengan tegas adanya kerajaan Kho Thay (Bahasa Cina) yang berarti kerajaan besar dan Quetaire (Bahasa India) yang berarti hutan belantara.
Kerajan Kutai Mulawarman (Martadipura) didirikan oleh pembesar kerajaan Campa (Kamboja) bernama Kudungga, yang selanjutnya menurunkan Raja Asmawarman, Raja Mulawarman, sampai 27 (dua puluh tujuh) generasi Kerajaan Kutai Mulawarman yaitu sebagai berikut: Kudungga, Asmawarman, Mulawarman, Sri Warman, Mara Wijaya Warman, Gayayana Warman, Wijaya Tungga Warman, Jaya Naga Warman, Nala Singa Warman, Nala Perana Warmana Dewa, Galingga Warman Dewa, Indara Warman Dewa, Sangga Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Candra Warmana, Prabu Mulia Tungga Dewa, Nala Indra Dewa, Indra Mulia Warmana Tungga, Srilangka Dewa, Guna Perana Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa, dan Darma Setia.
Sementara itu pada abad XIII di muara Sungai Mahakam berdiri Kerajaan bercorak Hindu Jawa yaitu Kerajaan Kutai Kertanegara yang didirikan oleh salah seorang pembesar dari Kerajaan Singasari yang bernama Raden Kusuma yang
kemudian bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti dan beristerikan Putri Karang Melenu sehingga kemudian menurunkan putera bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Proses asimilasi (penyatuan) dua kerajaan tersebut telah dimulai pada abad XIII dengan pelaksanaan kawin politik antara Aji Batara Agung Paduka Nira yang mempersunting Putri Indra Perwati Dewi yaitu seorang puteri dari Guna Perana Tungga salah satu Dinasti Raja Mulawarman (Martadipura), tetapi tidak berhasil menyatukan kedua kerajaan tersebut. Baru pada abad XVI melalui perang besar antara kerajaan Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Ing Mendapa dengan Kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) pada masa pemerintahan Raja Darma Setia.
Dalam pertempuran tersebut Raja Darma Setia mengalami kekalahan dan gugur di tangan Raja Kutai Kertanegara Aji Pangeran Sinum Panji, yang kemudian berhasil menyatukan kedua kerajaan Kutai Tersebut sehingga wilayahnya menjadi sangat luas dan nama kerajaannyapun berubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura yang kemudian menurunkan Dinasti Raja-raja Kutai Kertanegara sampai sekarang.
Literatur sejarah menyebutkan bahwa sejak abad XIII sampai tahun 1960 yang menjadi Raja (sultan) Daerah Swapraja (Kerajaan Kutai Kertanegara) berdasarkan tahun pemerintahannya adalah sebagai berikut:
1.1300 - 1325 Aji Batara Agung Dewa Sakti
2.1350 - 1370 Aji Batara Agung Paduka Nira
3.1370 - 1420 Aji Maharaja Sultan
4. 1420 - 1475 Aji Raja Mandarsyah
5. 1475 - 1525 Aji Pangeran Tumenggung Jaya Baya (Aji Raja Puteri)
6. 1525 - 1600 Aji Raja Mahkota
7. 1600 - 1605 Aji Dilanggar
8. 1605 - 1635 Aji Pangeran Sinum Panji Mendopo
9. 1635 - 1650 Aji Pangeran Dipati Agung
10. 1650 - 1685 Aji Pageran Mejo Kesumo
11. 1685 - 1700 Aji Begi gelar Aji Ratu Agung
12. 1700 - 1730 Aji Pageran Dipati Tua
13. 1730 - 1732 Aji Pangeran Dipati Anum Panji Pendopo
14. 1732 - 1739 Sultan Aji Muhammad Idris
15. 1739 - 1782 Aji Imbut gelar Sultan Muhammad Muslihuddin
16. 1782 - 1850 Sultan Aji Muhammad Salehuddin
17. 1850 - 1899 Sultan Aji Muhammad Sulaiman
18. 1899 - 1915 Sultan Aji Alimuddin
19. 1915 - 1960 Sultan Aji Muhammad Parikesit
20. 1960 - sekarang, Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II
B. Pemerintahan
Literatur sejarah menyatakan bahwa pada tanggal 17 Juli 1863 Kerajaan Kutai Kertanegara mulai menjadi daerah Swapraja sebagai bagian dari Kerajaan Hindia Belanda, akibat ditanda tanganinya Lange Contract oleh Sultan Kutai pada waktu itu karena kalah perang.
Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 daerah Swapraja Kutai Kertanegara mendapat pengaturan tersendiri dan mempunyai kedudukan istimewa. Sultan selaku kepala Swapraja dinobatkan sebagai Koo, yang berarti mempunyai kedudukan jelas sebagai anggota keluarga dari Raja Jepang. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan putusnya hubungan dengan kerajaan Belanda dan kemudian menunjukkan kesetiaan pada kerajaan Jepang.
Akan tetapi pada tahun 1945 Kalimantan Timur berhasil diduduki kembali oleh Belanda termasuk daerah Swapraja Kutai Kertanegara dan pada tahun 1947 Kalimantan Timur dibentuk menjadi Federasi dengan status Satuan Kertanegaraan yang berdiri sendiri dan terdiri atas daerah-daerah Kesultanan Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir dengan sebutan Swapraja.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 1949 masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada tanggal 10 April 1950 Federasi Kalimantan Timur masuk dalam Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta).
Monografi Kabupaten Kutai Kartanegara 2004 3
Kemudian pada tanggal 7 Januari 1953 berdasarkan Undang-Undang Darurat nomor 3 tahun 1953 maka daerah Swapraja Kutai Kertanegara diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom atau daerah istimewa tingkat Kabupaten. Akan tetapi pada tahun 1959 status daerah istimewa tersebut dihapus melalui Undang-Undang nomor 27 tahun 1959 dan dibagi menjadi Daerah Swatantra yang meliputi :
1. Kotapraja Balikpapan dengan Ibukota Balikpapan
2. Kotapraja Samarinda dengan Ibukota Samarinda
3. Daerah Tingkat II Kutai dengan Ibukota Tenggarong
Dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 tahun 1995, pada tahun 1995/1996 Kabupaten Dati II Kutai menjadi salah satu Daerah percontohan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Selanjutnya melalui Undang-Undang Nomor 47 tahun 1999 Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai dimekarkan menjadi 3 daerah kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai, Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang.
Untuk melestarikan warisan kebanggaan sejarah kerajaan Kutai tersebut, maka Kabupaten Kutai yang ada pada saat ini lebih dikenal dengan sebutan kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas wilayah 27.263,1 km2 yang terbagi menjadi 18 kecamatan dan 194 desa/kelurahan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka telah terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap sistem Pemerintahan di Daerah. Perubahan tersebut antara lain dengan adanya pergeseran kewenangan yang sangat luas dari pemerintah Pusat yang sentralistik kepada Pemerintah Daerah (desentralisasi) yang lebih bersifat otonom sehingga pemberlakuan kedua Undang-undang tersebut sering disebut era Otonomi Daerah.
Dalam menjalankan Pemerintahan Kepala Daerah Kabupaten (Bupati) tidak lagi bertanggung jawab kepada Gubernur tetapi bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya Bupati dibantu oleh seorang wakil Bupati yang juga dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Monografi Kabupaten Kutai Kartanegara 2004 4
Sebagai referensi berikut disajikan risalah pejabat Kepala Daerah (Bupati) Kutai sejak menjadi daerah otonom (Daerah Tingkat II) dari tahun 1960 sampai sekarang.
*Monografi Kabupaten Kutai Kartanegara 2004 5
Kamis, 23 Oktober 2008
Turki Utsmaniyah
Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmaniyah Lama: دولت عليه عثمانيه Devlet-i ʿĀliye-yi ʿOsmāniyye, Utsmaniyah Akhir dan Turki Modern: Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu) adalah negara multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.
Negara ini didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.
Kebangkitan Kesultanan (1299-1453)
Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertuğrul bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir.[1] Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.
Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Beliau memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya,[2] Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Perang Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.
Perkembangan Kerajaan (1453–1683)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Kesultanan ini memasuki jaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-15660 melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Beliau kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Prancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Prancis Francis I dan Barbarossa. Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Prancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Prancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yenisaris yang melebihi pasukan militer lainnya
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. [3]Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam[4]. Arti kedua adalah politik luar negeri,
Politik dalam negeriAda 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
- Pertama, buruknya pemahaman Islam.
- Kedua, salah menerapkan Islam.
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788)[5]. Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826)[6], sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni[7].
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17[8]. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16[9]. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira[10].
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari[11].
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.
Konspirasi Menghancurkan Khilafah
Gerakan misionaris
Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.
Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini dimanfaatkan Inggris - melalui agennya Ibn Sa'ud - untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dsk, yang sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa wilayah oleh khilafah lewat Mehmed Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah diprovokasi agar memberontak (abad 19-20), seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.
Gerakan nasionalisme dan separatisme
Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.
KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum harfiah dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.
Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafahm sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo [12]. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam[13]. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi [14].
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan [15]. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama[16].
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi[17]. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan. Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI). Hasilnya, Raja 'Abdul 'Aziz bin Sa'ud (dalam sambutannya) tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam kongres tersebut sehingga kongres itu gagal[18].
Daftar Sultan
Di bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan Utsmaniyah sampai berdirinya Turki sekuler.
|
|
Referensi
Sumber
- ^ Kinross, 23
- ^ (tr) Sultan Osman I, Turkish Ministry of Culture website
- ^ Leslie Peirce "The Imperial Harem: Women and sovereignty in the Ottoman empire and Morality Tales: Law and gender in the Ottoman court of Aintab"
- ^ An-Nabhani, Taqiyyuddin (2002). Ad-Daulatul Islamiyyah. Darul Ummah, 139.
- ^ Asy-Syalabi, Ali Muhammad (2003). Bangkit dan Runtuhnya Khilafah 'Utsmaniyah. Pustaka Al-Kautsar, 403-425.
- ^ Mufradi, Ali (2002). Kerajaan Utsmani dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 236-246.
- ^ Asy-Syalabi, 398-399
- ^ Musthafa, Nadiyah Mahmud (1996). Al-'Ashrul 'Utsmani minal Quwwatul Haimanah ila Bidayatul Mas'alatusy Syarqiyyah. Al-Ma'hadul 'Alami lil Fikrul Islami, 94.
- ^ Marjeh, Maufaq Bani (1996). Shahwatur Rajulul Maridh au as-Sulthan 'Abdul Hamid ats-Tsani wal Khilafatul Islamiyyah. Darul Bayariq, 42.
- ^ Harb, Muhammad (1998). Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II. Darul Qalam, 68.
- ^ Marjeh, 46
- ^ Bandera Islam, 16 Oktober 1924
- ^ Noer, Deliar (1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES, 242.
- ^ Hindia Baroe, 9 Januari 1925
- ^ Noer, 242
- ^ Noer, 243
- ^ Suryanegara, Ahmad Mansur (1998). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Mizan, 227.
- ^ Noer, 86-89