IDEOLOGI ISLAM MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN
Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi
Pendahuluan
Disadari atau tidak, pengertian “agama” yang dipahami masyarakat luas saat ini adalah “agama” dalam pengertian Barat yang sekularistik. Menurut mereka, agama hanya mengatur hubungan privat antara individu dengan Tuhan. Kalaupun mengatur hubungan antar manusia, agama hanya mengatur pada aspek yang terbatas, tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan menyeluruh.
Ketika pemahaman sekularistik ini diterapkan pada Islam, yang terjadi adalah reduksi dan distorsi yang luar biasa menyimpang dari Islam. Akhirnya Islam dipahami seperti agama-agama lainnya yang a-politis dan impoten dalam mengatur kehidupan manusia. Padahal, sebagai agama sempurna, sesungguhnya Islam telah mengatur seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Tak ada satupun persoalan hidup yang terjadi pada manusia, kecuali Islam telah menjelaskan tata aturannya. Allah SWT berfirman :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian...” (QS Al; Maa`idah : 3)
“Dan telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur`an) menjelaskan segala sesuatu.” (QS An Nahl : 89)
Berdasarkan kenyataan adanya reduksi Islam itu, diperlukanlah upaya untuk mengembalikan Islam pada posisinya yang sebenarnya sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Digunakanlah kemudian istilah “ideologi” yang memiliki makna yang lebih luas daripada istilah “agama” menurut versi kaum sekuler yang kafir.
Siapa pun orangnya, pasti mempunyai kesan dan persepsi bahwa “ideologi” mestilah bersifat holistik dan total dalam mengatur kehidupan manusia. Janggal sekali ¾tepatnya, bodoh sekali¾ kiranya kalau ada orang yang berpendapat bahwa “ideologi” tidak mengatur segala aspek kehidupan atau hanya mengatur secuil aspek kehidupan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) saja, mengartikan ideologi sebagai “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.” (hal. 319)
Oleh sebab itu, kata “ideologi” yang dirangkaikan dengan “Islam” ¾sehingga menjadi istilah “ideologi Islam”¾ sungguh bukanlah sekedar menarik secara leksikal dan gramatikal, namun memiliki substansi makna yang dalam dan fundamental. Dengan kata “ideologi Islam”, sebenarnya telah terjadi proses penghancuran (dekonstruksi) terhadap paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang telah membelenggu otak umat sekaligus proses purifikasi dan revitalisasi terhadap Islam, yang dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (QS Al Baqarah : 208)
“Apakah kalian akan beriman dengan sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian (yang lainnya). Maka tidaklah balasan bagi orang yang mengerjakan yang demikian itu dari kalian, kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)
Islam Sebagai Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab : mabda`) menurut M.M. Ismail dalam Al Fikru Al Islami, adalah “al fikru al asasi yubna alaihi afkaar”, yakni pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini disebut juga aqidah, yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun atas dasar aqidah tadi, merupakan peraturan hidup manusia (nizham) dalam segala aspeknya : politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Agar aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat akliah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir, bukan diperoleh melalui jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut aqidah akliah, yang darinya dapat dibangun pemikiran cabang tentang kehidupan. Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi dapat didefinisikan sebagai “aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha nizham”, atau aqidah akliyah yang melahirkan nizham (peraturan hidup) bagi manusia.
Definisi ideologi ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam memang mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu Syariat Islam.
Dengan demikian, tatkala kita menyebutkan istilah “ideologi Islam” sesungguhnya kita telah memelihara substansi Islam itu sendiri –yaitu Aqidah dan Syariah— tanpa mengurangi atau menambahinya sedikitpun. Aqidah dan Syariah-nya tetap itu-itu juga. Hanya saja, kita meletakkan keduanya dalam kerangka berpikir ideologis, untuk menghadapi situasi kontekstual umat saat ini, yang menganggap Islam sebagai “agama” dalam pengertian Barat yang sekuler.
Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem baru seiring dengan perkembangan waktu. Misalnya, dulu tidak ada kloning, bayi tabung, dan transplantasi, namun kini kemajuan di bidang biologi dan kedokteran itu telah hadir di hadapan kita. Itu tantangan zaman. Dulu tidak terbayang ada sarana komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini. Dengan adanya internet, berarti ada tantangan zaman. Penyakit AIDS, penggunaan narkoba, pergaulan bebas yang liar di kalangan muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini adalah tantangan zaman. Sebelumnya tidak ada negara Israel. Namun sekarang Israel bercokol dan mengangkangi bumi Palestina yang suci dan diberkahi. Ini tantangan zaman. Kita umat Islam dulu memiliki sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan adanya kehidupan Islam, tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh Mustafa Kamal yang murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang penguasa negeri-negeri Islam telah mencampakkan ideologi Islam, menganut dan menerapkan ideologi Kapitalisme, serta menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini betul-betul tantangan zaman. Demikian seterusnya.
Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam sebagai ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi segala masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia. Taqiyyuddin An Nabhani dalam Asy Syakshiyah Al Islamiyah (juz I/303) menguraikan secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa berupa Syari’at Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara’, dan bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan hukum syara’, misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya. Secara lebih khusus, dalam Nizhamul Islam (hal. 69), Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para mujtahidin untuk memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami problem yang ada (fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang bertalian dengan problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ untuk menyelesaikan persoalan yang ada (istinbathul hukmi).
Metode itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang benar mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi.
Dengan demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab tantangan zaman, Islam menempuhnya dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul fiqih yang fatal kekeliruannya : Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan. (Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat) (Lihat Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hal. 145).
Berdasarkan argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukum-hukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari muka bumi karena dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman. Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya Khilafah Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari pengertiannya yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis, fundamentalis, serta tidak cocok dengan selera orang yang telah “maju” pikirannya.
Pendapat seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat bertentangan dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang berpendapat seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara tentang persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum, menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan masyarakat itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah segala nilai, norma, dan pranata kehidupan. (Lihat Dr. M. Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri’ wa Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 9-11).
Pandangan ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari. Jika zina dan riba telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap haram. Jika hudud wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa pun sampai Hari Kiamat.
Seorang muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab, pandangan tersebut berarti menolak nash-nash yang qath’i tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ dan menyumberkan hukum-hukum syara’ itu dari al wahyu semata, bukan yang lainnya. Sekali lagi, sumber hukum dalam Islam adalah wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sampai mereka menjadikan dirimu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan...” (QS An Nisaa` : 65)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia.” (QS Al A’raaf : 3)
“Dan barangsiapa tidak memberikan keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
Ideologi Islam dan Konstelasi Politik Internasional
Penerapan ideologi Islam secara sempurna untuk memecahkan masalah-masalah yang melanda umat Islam kini, merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Masalah yang ada demikian bertumpuk, berjibun, dan seolah tak pernah berhenti mendera umat Islam. Masalah-masalah di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya telah membuat kita terpuruk dan tertindas. Kalaupun diselesaikan, pasti yang diterapkan adalah hukum-hukum yang jauh dari ketentuan wahyu Allah SWT, karena sistem kehidupan yang ada sekarang telah dicengkeram oleh sistem sekuler yang memisahkan agama dari arena kehidupan.
Dan penerapan ideologi Islam, mau tak mau membutuhkan negara sebagai institusi yang berdiri untuk menerapkan hukum-hukum syara’ sebagai solusi berbagai problematika umat. Sebab tanpa negara, sebuah ideologi pasti akan lumpuh dan tidak bermakna signifikan. Tanpa negara, sebuah ideologi hanya akan berupa mitos atau filsafat kosong yang menjadi penghuni otak belaka, tidak bisa diiimplementasikan secara konkret dalam realitas kehidupan manusia.
Dalam Islam, negara ini disebut dengan Khilafah atau Imamah, yang tak diragukan lagi kewajibannya dalam Islam. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416 :
“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib...”
Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ¾termasuk juga Khawarij dan Mu’tazilah¾ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :
“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”
Jika kita mencoba meneropong realitas kontemporer saat ini, ideologi Islam cukup berpeluang untuk tampil kembali dalam panggung politik tingkat dunia. Tengoklah, ideologi Sosialisme telah bangkrut pada awal dekade 90-an dengan runtuhnya Uni Soviet. Negara-negara yang mengklaim penganut Sosialisme, seperti RRC, akhirnya harus bertransformasi menjadi negara Kapitalis. Memang, saat ini masih ada segelintir pemuda/mahasiswa (muslim) yang bersemangat —tetapi bodoh terhadap Islam— yang getol dan keranjingan mempelajari Marxisme dan Komunisme, kemudian mempraktekkannya secara nyata dalam gerakan-gerakan yang tujuannya adalah menyulut kontradiksi dan konflik di antara komponen masyarakat, khususnya antara golongan borjuis dengan golongan proletar. Namun Insya Allah usaha mereka akan gagal dan akan kita hancurkan dengan segala cara dan upaya, karena Marxisme dan Komunisme adalah suatu kekafiran yang wajib dibasmi dan ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tak ada ampun atau toleransi apa pun terhadap Marxisme atau Komunisme. Marxisme dan Komunisme harus musnah dari muka bumi.
Adapun ideologi Kapitalisme, saat ini memang tengah berjaya dan terus berusaha melestarikan hegemoni dan dominasinya atas dunia. Amerika, Inggris, Perancis, dan negara-negara Barat yang kafir terus berusaha mengokohkannya cengkeramannya atas Dunia Islam untuk diinjak-injak, dieksploitir, dihisap kekayaan alamnya yang demikian kaya. Untuk itu mereka telah menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kafir mereka seperti demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan politik pasar bebas (Lihat kitab Al Hamlah Al Amirikiyyah Lil Qadha` ‘Alal Islam). Mereka pun terus melancarkan fitnahan-fitnahan yang keji seperti tuduhan ekstrem dan fundamentalis terhadap kaum muslimin yang ingin secara tulus mengembalikan Islam ke dalam tahta kekuasaan. Sayang sekali, para penguasa di Dunia Islam telah memposisikan diri mereka sebagai bagian dari pihak Barat ini. Mereka menjadi budak-budak yang selalu tunduk, patuh, bertakbir, dan bersujud kepada majikan-majikan mereka, yakni kaum penjajah yang kafir itu. Lihatlah, alih-alih menentang dan melawan, mereka malah mendatangkan IMF, Bank Dunia, dan lembaga-lembaga internasional lainnya, lalu mengemis-ngemis, meratap, dan menghiba kepada mereka tanpa malu kepada rakyatnya, serta pasrah begitu saja terhadap instruksi-instruksi mereka untuk menjarah atau merampok harta kekayaan umat yang seharusnya dijaga dengan penuh amanah dan tanggung jawab.
Namun demikian, sebenarnya tanda-tanda kelapukan dan kehancuran Kapitalisme sudah mulai nampak. Protes-protes terhadap WTO di Seattle (AS), lalu protes terhadap IMF dan Bank Dunia di Davos (Swiss) dan Washington belakangan ini, menunjukkan bahwa Kapitalisme telah mulai diragukan dan dibenci bahkan oleh para penganutnya sendiri. Geliat Dunia Ketiga untuk menentang dominasi Barat pun nampak semakin mengental tatkala dalam forum negara-negara G-77 di Havana (Kuba) Fidel Castro menyerukan,”Bubarkan IMF !”
Karena itulah, jika Sosialisme telah gagal, demikian pula Kapitalisme ¾yang akan segera kita hancurkan, Insya Allah¾ maka kemana lagi umat manusia akan berharap kalau bukan kepada ideologi Islam? Bukankah sudah cukup lama umat manusia menderita dan tersiksa di bawah tindasan ideologi-ideologi kafir seperti Sosialisme dan Kapitalisme?Bukankah ideologi-ideologi kafir tak mampu memberikan apa-apa kepada umat manusia selain penderitaan, kemelaratan, kebejatan moral, dan segala kesulitan hidup yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan ini?
Penutup
Sesungguhnya ideologi Islam harus segera tampil di panggung kehidupan manusia untuk menyelamatkan umat manusia dari jurang penderitaan dan gelimang kesengsaraan yang nyaris tanpa batas. Kemunculannya adalah suatu keniscayaan, karena kemenangan Islam telah menjadi janji Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman dan ikhlas beramal shaleh.
Namun demikian, umat Islam tidak berarti hanya bertopang dagu dan ongkang-ongkang kaki menunggu kemenangan Islam. Justru mereka wajib berjuang bahu membahu satu sama lain, dengan mengerahkan segala daya dan upaya, agar ideologi-ideologi kafir segera punah dari muka bumi dan agar ideologi Islam kembali meraih keunggulan dan kejayaan untuk tampil di tengah kehidupan umat manusia, walau pun orang-orang kafir membencinya.
Allah SWT berfirman :
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash Shaff : 8). [ ]