Sabtu, 27 September 2008

Keniscayaan Keruntuhan Kapitalisme

Keniscayaan Keruntuhan Kapitalisme

HTI-Press. Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya Komunisme awal 1990-an, bahwa peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003: 43).

Apakah kehancuran Komunisme berarti kehebatan Kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan Kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. “Anak-cucumu nanti akan hidup di bawah naungan Komunisme,” kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab, “Justru anak-cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan.” Nixon pun berkomentar, “Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tetapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri.” (Usman, 2003:46).

Walhasil, keruntuhan Komunisme tidaklah otomatis menunjukkan bahwa Kapitalisme itu hebat. Sebab, sebenarnya Kapitalisme tak kalah rusaknya dengan Komunisme. Kerusakan Kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu al-Mu’tashim) dalam kitabnya, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). “Kerusakan adalah tanda awal kehancuran,” tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.

Hamad Fahmi Thabib adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh berkah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Mu’âhadât fî asy-Syarî’ah al-Islâmiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilâfah ar-Rasyîdah al-Maw’ûdah wa at-Tahaddiyât (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta: HTI Press), 2008.

Gambaran Isi Kitab

Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia, terutama di Barat, kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman Kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (tharîq an-najâh), namun tak tahu harus melangkah ke mana.

Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitab ini. Dengan kitabnya ini, Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali pada ideologi Islam. (h. 9).

Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban Kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.

Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan Kapitalisme, yaitu: Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.

Sekularisme Sumber Kerusakan

Sebelum menerangkan kerusakan Kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, Kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengah sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tetapi hanya berfungsi di Gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486–1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang pada abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h. 24).

Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharîzah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan, “Kerusakan pada asas yang mendasari Kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia.” (h. 50).

Kerusakan Sistem Politik

Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek: Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nâhiyah rûhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).

Politik dalam negeri Barat tampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Prancis Muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).

Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota Senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).

Politik luar negeri ala Kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme—dalam segala bentuknya—yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afganistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki-tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).

Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar akidah islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiah), yaitu terkait dengan Allah Swt., terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah menaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya, orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).

Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia-tidaknya seseorang. Faktanya, materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putra direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putra mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat, “Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain…” (h. 173).

Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah Swt., di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma’ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).

Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tetapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Lalu penduduknya yang non-Muslim melakukan protes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam (h. 226).

Kerusakan Sistem Ekonomi

Sistem ekonomi Kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib, tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi, misalnya, dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga (h. 271).

Kerusakan sistem ekonomi Kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama Kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT) dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter sering bersumber dari sistem-sistem tersebut (h. 277).

Sistem ekonomi Islam sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi Kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan akidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi, barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan Kapitalisme dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam (h. 300).

Islam juga menolak institusi utama Kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan Kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak (h. 333).

Kerusakan Sistem Sosial

Sistem sosial (nizhâm ijtimâ’i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya, interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata (h. 375).

Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, cerai dilarang, tetapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal (h. 379-388).

Sistem sosial yang bobrok seperti ini telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral dan melahirkan anak-anak hasil zina (h. 398).

Sistem sosial Islam asasnya adalah akidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.

Thabib berulang-ulang menegaskan, keruntuhan Kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana Sosialisme; karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (tharîq an-najâh) umat manusia, bukan yang lain. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]

Daftar Bacaan

Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suqûth min ad-Dâkhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar). 1995.

Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung: Zenit). 2007.

Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta: Grafindo Khazanah Islam). 2007.

Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta: Teraju, 2005).

Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo: Era Intermedia). 2003.

Tidak ada komentar: